Oleh : Aji Wibowo

Sabtu sore, 21 April 2007, kompetisi Liga Indonesia mempertemukan PSS Sleman dengan Persija Jakarta, sekaligus juga mempertemukan dua kelompok suporter kreatif atraktif Slemania dan Jakmania di stadion Maguwoharjo Sleman. Hadir sebagai tamu, Jakmania datang dalam jumlah yang besar dan hampir memenuhi tribun selatan. Dalam siraman air hujan yang deras, kedua kelompok suporter tersebut menunaikan tugasnya menyulut semangat bertanding masing-masing tim yang didukung. Pertandingan memang berakhir dengan skor 2–1 untuk kemenangan PSS Sleman namun kesan baik telah ditampilkan dan ditinggalkan oleh kedua kelompok suporter tersebut. Suasana pertandingan yang cukup panas tak ikut menyulut api permusuhan pada masing-masing pendukungnya. Yang menang berhak bergembira, yang kalah boleh kecewa tetapi sama sekali tak menghalangi kedua kelompok suporter itu merayakan pesta kemenangan semangat sportifitas dan persahabatan.

Beberapa hari sebelumnya, 19 April adalah peringatan hari lahir PSSI yang 77 tahun yang lalu didirikan oleh perwakilan 7 bond di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. Tak ada perayaan dan kado spesial berupa pencapaian prestasi hebat yang bisa diberikan oleh pengurus PSSI era Nurdin Halid dalam moment istimewa itu. Masing-masing sibuk dengan agenda Munas yang agendanya lebih pada mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan PSSI maupun sepak bola nasional itu sendiri. Seperti yang diprediksi banyak orang bahwa Munas akan menjadi ajang untuk memuluskan Nurdin Halid terpilih untuk kali yang kedua, terbukti sudah. Tak ada pesta demokrasi dalam moment tersebut dan tak ada pula konflik dan semangat kompetisi yang melatari proses pemilihan itu. Hal yang aneh sekali apalagi bagi otoritas sepakbola yang permainannya kerap menciptakan drama berkat konflik dan kompetisi didalamnya.

Nederland Indische Voetbal Unie (NIVU) di World Cup 1938, Prestasi tertinggi anak bangsa

Sepakbola adalah Konflik dan Kompetisi
Permainan sepakbola bersifat timbal balik, dengan sifatnya tersebut sepak bola jelas tidak bisa untuk dimainkan sendirian. Dalam praktiknya, sepakbola merupakan interaksi dua pihak yang saling melawan satu sama lain dalam suatu permainan untuk memperebutkan hadiah tertinggi yaitu kemenangan. Seperti sebuah dialektika, sintesa yang berupa kesempurnaan dan keindahan permainan sepak bola lahir dari pertentangan dua tim yang bertanding yang berbuah hasil yang kontras yaitu kemenangan di satu pihak dan kekalahan di pihak yang lain. Dalam sepakbola senantiasa menampilkan dua wajah yang kontradiktif sebagai suatu keniscayaan yang tak bisa dipungkiri. Suatu fenomena yang di dalamnya termuat elemen menang dan kalah, sportifitas dan culas, kegembiraan dan kekecewaan, sanjung puji dan caci maki, dan sebagainya.

Sepakbola adalah bentuk konflik dan kompetisi sekaligus. Sebagai bentuk konflik karena pada dasarnya sepakbola merupakan olahraga yang didalamnya terdapat upaya saling mengalahkan untuk memperoleh kemenangan. Sedangkan spirit kompetisi diwujudkan dengan adanya aturan-aturan permainan, yang dibuat oleh otoritas yang berwenang, guna menjamin keadilan dalam lapangan. Secara umum konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau lebih. Sehingga wujud konflik dan kompetisi direpresentasikan tidak hanya oleh dua puluh dua orang di lapangan yang terbagi dalam dua tim yang berbeda tetapi melibatkan official dan seluruh komponen tim serta pendukung atau suporter masing-masing.

Suporter sebagai bagian yang terlibat langsung dengan tim yang bertanding ikut terseret dalam situasi konflik tersebut. Suporter hadir di arena pertandingan dengan tujuan mendukung untuk menaikkan mental dan moral tim yang didukung sekaligus meneror mental tim lawan. Ketika dua kelompok suporter bertemu di arena pertandingan dengan tujuan yang sama namun berbeda tim yang didukung maka yang terjadi adalah pertentangan, perang yel-yel, saling ejek dan lain-lain. Konflik yang terjadi antar kelompok suporter jelas tidak bisa dipisahkan dari konflik dan kompetisi yang terjadi pada klub yang mereka dukung. Sebab suporter senantiasa mengidentifikasikan dirinya dengan tim yang mereka dukung.

Konflik antar suporter sebagai suatu keniscayaan, terjadi ketika mereka bertemu di arena dan mungkin saja masih berlanjut setelah pertandingan usai. Meski terdapat konflik tidak berarti hal tersebut bernilai negatif karena pada dasarnya konflik berbeda dengan kekerasan. Konflik tidak selalu dapat dilihat dengan kasat mata. Menurut Dr. A. Munir Mulkhan, dkk, dalam bukunya ”Kekerasan dan Konflik: Tantangan Bagi Demokrasi” (Forum LSM DIY, 2001) menjelaskan bahwa konflik bukan sekedar peristiwa atau “fakta” seperti tawuran, perang, revolusi sosial, demontrasi, aksi massa, dan lain-lain tetapi juga dimengerti sebagai sudut pandang, perspektif dalam melihat atau memandang peristiwa-peristiwa sosial.

Lewis Alfred Coser (1913-2003), Presiden ke-66 American Sociological Association sekaligus penulis buku The Functions of Social Conflict, menerangkan bahwa konflik merujuk pada suatu keadaan pertentangan antar dua atau lebih kelompok dengan identitas yang jelas. Pertentangan tersebut dapat berupa pertentangan kepentingan atas sumber daya, pengakuan atau gengsi dan tidak selalu disertai dengan kekerasan. Pada akhirnya semua mesti bisa memaklumi bahwa konflik merupakan suatu hal yang lumrah apalagi dalam dunia suporter sepakbola namun tidak perlu pemakluman alias toleransi untuk kekerasan. Meski faktanya kekerasan kerap kali singgah dalam hingar bingar dunia sepak bola namun secara filosofis, kekerasan tidak sejalan dengan semangat sportifitas sepak bola sebagai suatu bidang olahraga. Kekerasan menjadi musuh utama bagi pecinta dan suporter sejati sepak bola.

Suporter (sedang) Belajar, Belajar (pada) Suporter
Ada banyak persoalan yang dihadapi bangsa ini, terutama masih banyaknya fenomena kekerasan baik oleh massa atau individu. Namun dalam menyikapi berbagai persoalan itu kita bisa banyak belajar dari kelompok-kelompok suporter sepakbola di Indonesia. Ada memang beberapa kejadian kerusuhan yang melibatkan kelompok suporter sebagai bentuk kekerasan massa. Bahwa keributan dan kerusuhan itu membawa konsekuensi kerugian bagi masyarakat banyak masih sering terjadi namun dari waktu ke waktu frekuensi dan skala kerusuhan yang melibatkan suporter makin berkurang dan mengecil. Sepanjang waktu kelompok suporter berinteraksi dengan kelompok suporter yang lain, terdapat dinamika, dan mereka memetik pengalaman serta belajar menjadi lebih dewasa dalam segala hal.

Disaat terdapat fenomena institusi pendidikan yang diharapkan nantinya menghasilkan aparat pengayom masyarakat tetapi yang terjadi adalah pendidikan penuh kekerasan dan arogansi senior atas yuniornya yang mengakibatkan jatuh korban jiwa. Disisi yang lain kelompok suporter terus giat berbenah diri, berlaku tertib didalam dan diluar lapangan, terus menerus memupus kekerasan dan mengkampanyekan persahabatan antar kelompok suporter dan sikap menghormati sesama suporter. Ketika para pejabat, birokrat, dan wakil rakyat yang terhormat gagal mengemban amanat namun putus urat malunya hingga tetap bertahan bahkan ”bermain sirkus” dengan aksi tipu-tipu pada rakyat. Dilain pihak suporter masih bisa merasa malu ketika diteriaki ”ndeso” atau kampungan apabila perilaku mereka mengganggu pertandingan seperti melempar benda ke lapangan atau menerabas masuk stadion tanpa tiket. Bagi mereka, masuk dan menonton haruslah dengan membayar. Sehingga tak aneh apabila mereka kemudian bekerja keras dan berpikir kreatif untuk mendapatkan uang demi membeli tiket pertandingan. Melancong menemani timnya bertanding dikandang lawan hanya dengan transportasi dan akomodasi sekedarnya pun sanggup mereka jalani. Bukankah itu jauh lebih baik daripada mereka yang meminta berbagai fasilitas yang serba wah untuk kepentingan pribadi namun dengan memakai uang rakyat?

Disaat suhu pertandingan memanas mereka tetap berusaha berpikir jernih dan bertindak proporsional. Saat perekonomian mereka tak cukup baik menopang kehidupan sehari-hari mereka tetap menyalakan harapan dengan tetap berusaha membeli tiket pada setiap ritual menonton mereka. Kala perhatian otoritas tertinggi pada mereka jauh dari harapan, yang lebih sibuk dengan urusan memberi hukuman dan sanksi yang kerap salah sasaran dan tak benar-benar mendidik untuk lebih baik, para suporter itu tetap giat memperbaiki diri, memperkukuh semangat dan menjadi jauh lebih beradab pada setiap sikap hidupnya.

Semestinya kita tak perlu berkecil hati dan terus memupuk optimisme meski prestasi sepak bola nasional tak kunjung mekar, akibat salah urus dari pengurus yang berwatak oportunis, karena kita masih memiliki banyak sekali orang yang begitu mencintai sepakbola dan kehidupannya dalam wujud sebagai suporter. Kahlil Gibran (1883 - 1931), mewariskan kalimat indah"Segala kerja adalah hampa kecuali ada cinta”. Cinta adalah kekuatan terbesar yang menjadi modal yang berharga untuk membawa kehidupan sepakbola nasional juga kehidupan negeri ini menjadi lebih baik. Semangat dan cinta dari suporter selayaknya dijadikan obligasi moral bagi kita semua yang peduli pada persoalan sepakbola nasional yang macet maupun persoalan kehidupan berbangsa yang masih suram.

Penting untuk selalu mempertahankan sikap peduli, kerelaan dan kebersihan hati untuk memberi koreksi pada setiap bentuk penyimpangan dan kekeliruan disekitar kita. Peduli dan kritis adalah bentuk keimanan paling kuat yang harusnya dimiliki oleh tiap jiwa manusia. Mari terus belajar...