Oleh: Aji Wibowo


Fajar Ramadhan pun semburat tiba menyapa. Bulan suci penuh baraqah dan ampunan, datang melipur kerinduan umat Islam akan kewajiban beribadah puasa demi untuk menyempurnakan derajat ketakwaan mereka di hadapan Allah. Dengan segala keutamaan yang dimilikinya, menjadikan bulan Ramadhan berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Maka lazim apabila kemudian terdapat banyak perubahan (baca: penyesuaian) sikap, perilaku, dan aturan di banyak sektor kehidupan lainnya baik yang ditentukan oleh otoritas tertentu maupun yang muncul karena kesadaran dari tiap-tiap insan. Fenomena senada juga dilakukan pada para penganut agama lain yang tidak melaksanakan ibadah puasa. Terbitnya empati dalam bentuk pengertian dan penyesuaian sikap sebagai wujud toleransi antar umat beragama.

Pun demi (alasan) menghormati pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, PSSI ikut menyesuaikan dengan menelurkan keputusan untuk meliburkan sementara setiap kompetisi yang berada dibawah naungannya. Jeda kompetisi yang bukan saat paruh musim ini merupakan salah satu dari beberapa kebijakan mengistirahatkan kompetisi yang pernah ditetapkan PSSI. Contoh jeda kompetisi yang sejenis diantaranya yaitu saat hajatan AFC Asian Cup 2007 bulan Juli lalu. Jadi selain sebagai kompetisi paling padat di dunia, Liga Indonesia adalah kompetisi paling lentur (baca: inkonsisten) dengan rancangan jadwal sebelum liga dimulai.

Terkait libur kompetisi ini, muncul pendapat bahwa meliburkan kompetisi pada momen puasa Ramadhan ini juga bisa dipandang baik sebagai upaya preventif efektif dari kemungkinan timbulnya dosa bagi para pelaku dan pegiat sepak bola yang juga mayoritas muslim. Siapapun mahfum bahwa berkecimpung di dunia sepak bola (khususnya di Indonesia) berarti menempuh resiko besar melakukan dan terlibat aktivitas kotor meski masih banyak pelaku yang berkomitmen baik tentunya. Resiko tersebut belum lagi termasuk masifnya godaan dan panasnya suhu kompetisi dan konflik di atas lapangan hijau yang bisa menyeret banyak pihak terpancing emosinya dan menoreh dosa.

Puasa selama satu bulan penuh dengan esensi “menahan diri”, terutama menahan diri dari makan dan minum, di satu sisi dipandang dan dikeluhkan (biasanya para pelatih) bisa memberi pengaruh turunnya kemampuan fisik dan stamina dari pemain dan atlet olah raga lainnya. Berubahnya pola istirahat, makan dan minum termasuk kuantitas serta kualitas asupan makanan yang dikonsumsinya, sedikit banyak memengaruhi kebugaran para prajurit lapangan hijau. Namun alasan pokoknya adalah berkurangnya porsi latihan yang harus dilahap oleh para pemain yang berefek langsung pada kekuatan fisik dan stamina pemain.

Namun tesis itu segera saja mendapat anti-tesis dengan banyak sekali kajian yang menunjukkan hikmah dan khasiat puasa Ramadhan bagi kesehatan jasmani selain tentunya bagi kesehatan jiwa atau ruhani. Beberapa penelitian ilmiah bahkan membuktikan pengaruh positif puasa bagi kesehatan tubuh seperti; memperkuat daya tahan tubuh, menyembuhkan dari penyakit tertentu, dan meningkatkan produktivitas. Namun segala manfaat bagi jasmani itu tak bakal berlaku efektif apabila para pelaku puasa tidak memiliki kesadaran bahwa ritual yang mereka tunaikan adalah konsekuensi iman kepada Penciptanya. Artinya hikmah bagi ruhani dan jasmani itu akan diperoleh apabila mereka tidak berhenti hanya pada esensi menahan diri dari makan, minum dan hasrat seksual di siang hari di bulan Ramadhan tetapi juga mengendalikan diri dari nafsu-nafsu yang berlebihan setelah berbuka bahkan setelah berpisah dengan Ramadhan. Dengan demikian tidak akan ada ritual “balas dendam” sewaktu berbuka puasa dengan makan dan minum berlebihan yang kontraproduktif bagi kesehatan.

Dengan nilai dan filosofi dalam ibadahnya memberi kesempatan bagi semua pihak yang berkecimpung di dunia persepakbolaan tanah air untuk meluruskan kembali niat dan komitmen mereka pada kemajuan sepak bola nasional. Bulan Ramadhan dengan puasa wajib didalamnya bisa menjamin para pelakunya kaya akan pengalaman spiritual yang bermakna. Dengan demikian bahwa dengan mayoritas pegiat dan pelaku didunia sepak bola adalah muslim maka tak salah rasanya apabila kita merangkai harapan bahwa puasa Ramadhan bisa menjadi sebuah momen perubahan dan tentunya pembenahan bagi insan dan organisasi sepak bola nasional. Jadi libur kompetisi yang ditetapkan PSSI mestinya tak sekedar untuk menghormati ritus puasa Ramadhan yang ujungnya tak membekaskan jejak hikmah sama sekali. Kondisi fisik terbaik untuk mencapai puncak permainan (peak performance) bisa dengan relative mudah dipulihkan kembali, akan tetapi mengobati penyakit hati dan membenahi moralitas rendahan punggawa PSSI adalah perjuangan tanpa batas waktu.

Banyak kekhawatiran yang patut untuk dilontarkan. Apakah pemain setelah puasa Ramadhan kemudian memiliki kesadaran bahwa pemain lawan haruslah dipandang sebagai sesama professional yang mengandalkan ketrampilan mengolah bola di lapangan hijau demi tujuan kesejahteraan keluarga. Dengan demikian niat untuk mengasari dan mencederai lawan, dengan sengaja atau bahkan dengan suatu rencana, tak lagi tersirat dalam hati dan pikiran para pemain. Sepak bola sebagai olahraga yang mengedepankan fisik memang meniscayakan terjadinya benturan, namun tidak menolerir adanya niat jahat atau ajang untuk melukai lawan. Terjadinya cidera pada pemain haruslah menjadi konsekuensi dari sebuah perjuangan para pemain yang mendamba kemenangan.

Apakah sesudahnya bulan penuh berkah ini berakhir, para pengurus kemudian memiliki kesanggupan untuk mengambil hikmah lalu tercerahkan untuk berpikir dan bertindak objektif mengabdikan diri demi memajukan sepak bola nasional dengan menepikan niat-niat menguntungkan pribadi atau kelompok. Tidak menghamba pada kekuasaan yang menyimpang dan tidak aspiratif. Sehingga sembuhlah mereka dari penyakit tamak dan rakus kekuasaan.

Dan apakah suporter kemudian mau untuk berbesar hati untuk mengerti dan memahami bahwa aktivitas mendukung klub-klub kesayangan sebagai sebuah kompetisi yang sehat tanpa disertai ritual kekerasan pada suporter tim lawan dan perilaku mengganggu kepentingan publik lainnya. Mendukung tim kesayangan idealnya adalah tindakan sukarela yang didasari cinta yang tulus sehingga prakteknya di lapangan suporter enggan untuk merugikan tim yang didukung dengan aksi bonekisme.

Seandainya sekolah ruhani yang dianugerahkan Allah ini tak mempan mengasah nurani kita juga para pelaku dan pegiat sepak bola di Indonesia akan nilai kebenaran, rasanya peringatan sangat keras dan revolusi total adalah obat bagi mereka yang telah membutatulikan hatinya. Atau masih adakah cara lain untuk mereka si hati bebal?