Oleh: Aji Wibowo

Kemeriahan AFC Asian Cup 2007 yang disertai penampilan gigih nan cemerlang tim nasional Indonesia telah merebut perhatian sebagian besar masyarakat dari urusan kehidupan lainnya. Antusiasme pecinta sepakbola tanah air yang luar biasa untuk menonton dan menjadi suporter bagi perjuangan tim Garuda serta pemberitaan yang massif dari media massa menjadi bukti sahihnya. Tak ketinggalan suporter dan penonton di daerah yang setia mengirim doa dan mengambil inisiatif nonton bareng (public viewing) di lingkungannya. Banyak kalangan memandang bahwa telah muncul suatu bentuk nasionalisme baru. Masyarakat disatukan dalam sebuah identitas sebagai suporter tim nasional yang bertarung demi nama bangsa dan negara dalam event sepakbola terbesar di Asia. Sebuah kesempatan yang cukup langka dimana national anthem Indonesia Raya dinyanyikan begitu tulus dan penuh semangat. Jadilah sebentuk hawa segar yang mengusir aroma separatism yang sempat muncul dalam beberapa kesempatan.

Namun euphoria pesta kemenangan dan resah sedih kekalahan tim nasional Indonesia selama AFC Asian Cup 2007 cukuplah sejenak saja meninabobokan kita dari fakta tentang masih banyaknya persoalan yang menghinggapi sepakbola nasional. Seusainya hajatan itu hendaknya segala hutang masalah-masalah itu harus coba dituntaskan. Seluruh pemain telah mengupayakan segenap daya hingga muncul performa overachiever yang membuat seluruh pecinta tim nasional di pelosok negeri bangga. Sekarang waktunya kita untuk bertindak layaknya suporter sejati yang tak hanya memberi dukungan di lapangan tetapi juga sepanjang waktu mencurahkan perhatiannya, menemukan masalah, mengkritisi, dan menyumbang saran. Dan juga senantiasa menjaga kesadaran dan sikap kritis sebagai suporter sejati dalam rangka membangun sepakbola nasional.

Tulisan ini (kembali) bermula dengan warta buruk dari dunia sepakbola nasional. Bukan hal yang aneh sebab tema yang membuat hati prihatin itulah yang lebih sering menyapa kita. Setiap kegagalan tim nasional di berbagai event berganti giliran dengan kabar kekerasan oleh suporter, perilaku nakal dari beberapa pemain dan official yang mencederai spirit fair play. Tak hanya itu, oknum pengurus pun banyak yang melacurkan diri dengan menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi. Jadi sepakbola nasional tak ubahnya seperti kanal bagi watak kriminal dari para pelakunya.

Beberapa waktu yang lalu, selagi bersiap dan menyambut gelaran AFC Asian Cup 2007 di rumah sendiri, masyarakat sepakbola disuguhi geger suap yang melibatkan official Penajam Medan Jaya (merger Penajam Putra Kalsel & Medan Jaya) dengan oknum pengurus PSSI. Skandal dengan transaksi ratusan juta rupiah ini merupakan upaya pihak klub untuk membeli keputusan dari pengurus PSSI. Protes PSP Padang yang keberatan dengan keputusan PSSI yang mengijinkan Penajam Medan Jaya (PMJ) ikut kompetisi Divisi Satu 2007, karena pernah tersangkut kasus walk out saat melawan PS Tembilan, menjadi awal semua inisiatif jahat itu. Terancam gagal berkompetisi, PMJ kemudian mencoba melobi Komisi Disiplin yang ditugaskan Ketua Umum PSSI untuk menuntaskan masalah tersebut. Jadilah tawar menawar biaya keputusan untuk menyelamatkan PMJ. Meski sudah menyetor uang sebesar Rp100 juta namun pada akhirnya Komdis tetap mengeluarkan Surat Keputusan (SK) bertanggal 29 Mei 2007 yang isinya mendiskualifikasi, mendegradasi ke divisi dua, dan mendenda sebesar Rp50 juta pada Penajam Medan Jaya.

Meski terdapat rentang waktu yang lama dari heboh mafia wasit, toh skandal semacam ini bukannya tak sering terjadi di sepakbola tanah air.Layaknya fenomena gunung es, semua kisah yang dipaparkan oleh media massa hanyalah puncak dari sekian banyak ulah cela lain yang tertutupi. Banyak pihak yang tahu rahasia yang sudah jadi umum itu namun coba menutup mata. Menurut cerita dari beberapa kawan, yang anggota keluarganya menjadi pengurus klub dan wasit untuk PSSI, perihal suap dan kolusi merupakan kebiasaan yang dilestarikan secara konsisten dari waktu ke waktu yang berganti hanya pelakunya saja.

Berikut adalah beberapa kasus suap yang pernah terjadi di lingkungan PSSI dan sepakbola Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi kasus suap dengan tema tawaran lolos ke babak 12 Besar Liga Indonesia. Djafar Umar yang menjabat Ketua Komisi Wasit PSSI pada saat itu beserta sepuluh wasit lainnya yang terbukti terlibat, menawarkan jasa mengatur hasil pertandingan pada klub peserta Liga Indonesia. Selang enam tahun kemudian, giliran Jimmy Napitupulu, wasit FIFA Indonesia, yang ditawari suap oleh pengurus Persebaya Surabaya agar ”menyelamatkan” enam pemainnya yang rawan akumulasi kartu pada pertandingan melawan Persib Bandung.

Perihal suap, rekayasa hasil dan berbagai skandal memalukan lainnya tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di belahan dunia lain termasuk negara yang memiliki tradisi prestasi kelas dunia seperti Inggris, Prancis, Italia dan Jerman. Begitu juga dengan negara tetangga di region Asia Tenggara, yang kebetulan bersama Indonesia dan Thailand menjadi tuan rumah bersama AFC Asian Cup 2007, yaitu Malaysia dan Vietnam. Namun berbagai skandal di negara lain bukan menjadi pemakluman tumbuh kembangnya skandal serupa di Indonesia, justru menjadi cermin sekaligus pelajaran dalam banyak hal.

Berikut adalah beberapa sampel skandal besar di dunia sepakbola. Sepakbola Inggris telah mengalami banyak skandal yaitu tahun 1905 suap dengan pelaku pemain Manchester City, Billy Meredith. Pada tahun 1915 tujuh orang pemain Manchester United dan Liverpool dihukum FA karena terbukti mengatur skor 2-0 yang pada waktu itu banyak dipilih petaruh. Lalu tahun 1962 trio pemain Sheffield Wednesday dipenjara 6 bulan dan diskorsing 10 tahun juga karena pengaturan skor. Kejadian heboh juga terjadi di Prancis pada tahun 1993. Pemilik Olympique de Marseille, Bernard Tapie, menyuap para pemain Valenciennes supaya mengalah. Saksi dan bukti akhirnya menyeret Tapie masuk bui dan gelar Liga Prancis pun ikut dicopot.

Di Italia pernah muncul skandal totonero (pengaturan skor untuk taruhan legal) musim 1979/1980 yang menyebabkan AC Milan dan Lazio turun ke Serie B serta beberapa pemain dari klub-klub lain, salah satunya Paolo Rossi, diskorsing dua tahun. Lalu calciopoli yang terjadi musim 2004/2005 & 2005/2006, kali ini Juventus yang harus kehilangan scudetto dan merasakan kompetisi Serie B untuk pertama kalinya. Akibat calciopoli atau Moggigate, beberapa klub lain memulai Serie A dengan pengurangan poin. Sedangkan di Jerman pada tahun 1971 terjadi kasus rekayasa hasil sekitar 50 pertandingan Bundesliga yang melibatkan lebih dari 50 pemain, pelatih dan official klub. Juga skandal Robert Hoyzer pada tahun 2004, seorang wasit yang merekayasa beberapa pertandingan di Piala Jerman. Hoyzer case ini berhubungan dengan bursa taruhan yang dicukongi mafia Kroasia.

Paolo Rossi, from zero to hero

Kuasa, Korupsi dan Ironi Kompetisi
Berbagai skandal itu setidaknya selalu melibatkan pemain, official klub, wasit, bandar judi atau mafia, dan pengurus otoritas sepakbola. Dalam setiap skandal yang terjadi, tampak sebuah perselingkuhan yang intim antara kekuasaan dan uang. Hal ini bisa bermula dari keinginan untuk menang yang kebablasan dan atau mencari keuntungan pribadi. Demi kemenangan segala upaya coba diupayakan termasuk jalan pintas yang haram untuk dilakukan.Motivasi ini kemudian berpadu dengan watak oportunis pemilik modal dan kekuasaan yang senantiasa menanti untung.

Seperti dalam wasiat sejarawan Inggris John Emerich Edward Dalberg-Acton atau yang lebih dikenal dengan Lord Acton, (10 Januari 1834 – 19 Juni 1902 “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Sindrom lupa diri bisa menghinggapi siapa saja ketika seseorang sedang memegang kekuasaan baik level atas maupun bawah. Ada dorongan dan godaan yang amat besar untuk menyelewengkan wewenang dan kekuasaan ketika seseorang menjadi penguasa. Kehidupan bangsa ini banyak memberi gambaran dan contoh nyata tentang seleweng wewenang dan kuasa. Dari sistem yang berpihak pada penguasa, birokrasi berbelit, aparat yang mengutip uang, pejabat dan pengusaha saling suap, partai politik yang senantiasa menanti upeti dan berbagai anomali lainnya.

Kuasa dan wewenang, dua ”jimat” inilah yang juga coba dimanfaatkan oleh oknum pengurus PSSI untuk menambah kekayaan pribadi. Jabatan yang strategis dan payung hukum dengan tafsir abu-abu merupakan piranti yang memudahkan oknum pengurus untuk meninggikan posisi tawar mereka. Peluang dan kesempatan itu kemudian menganga lebar ketika mereka bertemu dengan pengurus-pengurus klub yang menginginkan kemenangan dan atau mencari selamat, pemain yang terancam hukuman atau skorsing, klub atau kota yang ingin menjadi tuan rumah event sepakbola serta pemain asing yang butuh legalitas. Semua peluang itu berpotensi memunculkan selingkuh yang setara dengan polah pejabat dan pengusaha yang saling sogok. Oknum pengurus adalah representasi dari sosok pejabat, sedangkan insan sepakbola yang oportunis adalah pengusaha disisi yang lain.

Perilaku penyuapan (bribery) oleh pengurus klub Penajam Medan Jaya pada oknum pengurus PSSI merupakan upaya ”mencari selamat" dari sebuah klub yang terancam...Tak tertutup kemungkinan klub-klub yang lain, melalui pengurusnya, melakukan penyuapan berlambarkan alasan atau motivasi lain yang berbeda tergantung pada kebutuhan klub tersebut. Apapun motif dan alasannya yang mendasarinya, praktek penyuapan oleh klub yang berpadu dengan penyalahgunaan wewenang oleh oknum pengurus PSSI merupakan tindakan korupsi dan kolusi. Kejahatan yang masuk kategori extraordinary crime karena akibat yang ditimbulkan luar biasa merusak.

Ada banyak ragam perspektif untuk mendefinisikan korupsi. Menukil dari Situs Wikipedia, istilah korupsi diambil dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang maknanya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Sedangkan Transparency International memberi definisi pada korupsi yaitu perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi yang dilakukan oknum pengurus PSSI adalah menyelewengkan suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Sedangkan selingkuh antara pengurus klub dan oknum pengurus PSSI merupakan kolusi. Yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji; persekongkolan. Penyalahgunaan wewenang, kolusi, dan korupsi yang terjadi menunjukkan adanya penyakit bereaumania di lingkungan PSSI.

Dunia sepakbola nasional memang masih mengenal konsep tuan rumah (harus) selalu menang. Keuntungan sebagai tuan rumah menyebabkan peluang suatu klub untuk memenangkan pertandingan menjadi lebih besar. Beberapa faktor pendukung diantaranya yaitu pengenalan lapangan yang lebih baik dan adanya dukungan dari suporter sebagai pemain keduabelas. Dengan adanya konsep ini, kolusi antara pihak klub dan oknum pengurus PSSI justru potensial dilakukan. Vitalnya peran wasit menjadi titik awal sebuah transaksi kotor itu. Wasit nakal bisa memakai kekuasaannya di lapangan untuk memenangkan pihak atau klub yang ”menyejahterakannya”, seperti menghadiahi penalti atau memberi hukuman pelanggaran yang tidak wajar. Otoritas yang membawahi dan berwenang menunjuk wasit, umumnya berperan sebagai agen bagi wasit-wasit nakal itu.

Efek langsung dari praktek suap, penyalahgunaan wewenang dan korupsi di tubuh PSSI adalah kompetisi biaya tinggi. Anggaran kompetisi suatu klub yang selama ini sudah begitu terbebani oleh menggelembungnya harga kontrak dan gaji pemain asing serta lokal, akan semakin berat dengan adanya “biaya tambahan”. Semua biaya besar itu tak melulu habis untuk kebutuhan wajar dari suatu kompetisi tapi terdapat juga biaya siluman yang lain berupa ”menjamu dan menyejahterakan” wasit, transaksi "promosi dan degradasi " antara pengurus PSSI dan official klub, legalisasi dan akreditisasi pemain, serta tawar menawar sanksi. Pahitnya hampir semua ongkos transaksi hitam itu dibiayai dari APBD alias uang rakyat.

Polah suap menyuap yang dilakukan pihak klub dengan otoritas sepakbola ini merusak idealisme sebuah kompetisi. Menjadi hal yang ironis dan tak masuk akal karena sebuah kompetisi sepakbola seharusnya menyuburkan watak fair play dan semangat sportifitas bagi para pelakunya. Kemenangan mestinya milik mereka yang sebenar-benarnya memiliki kemampuan dan kemauan yang lebih untuk mencapainya. Mereka yang berbekal skill dan teknik mumpuni disertai daya juang yang tinggi dari individu-individu yang bermain sebagai sebuah tim. Dengan demikian prestasi yang muncul dari sebuah kompetisi adalah perjuangan diatas lapangan bukan karena kekuatan finansial dan kemauan menang yang digunakan dengan cara yang salah dari pengurus klub. Singkat kata, korupsi dan kolusi di lingkungan PSSI dan klub menghambat prestasi sepakbola nasional.

Menangkap Tikus: Belajar dari Tetangga
“Bagi bangsa kita korupsi sudah menjadi budaya.”
Muhammad Hatta (12 Agustus 1902 - 14 Maret 1980, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia)


Jelas bukan perkara gampang untuk memberangus korupsi dan kolusi yang telah berakar kemana-mana. Begitu membudayanya korupsi sehingga menyebabkan rasa pesimisme yang kental dari masyarakat. Seakan-akan sudah tertutup segala jalan untuk diperbaiki. Alih-alih memberantas yang terjadi justru ikut menambah jamaah koruptor. Dan akhirnya korupsi pun menjadi hal lumrah dan melakukannya tanpa malu, bahkan untuk sekedar pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Dalam hal ini maka Indonesia disebut telah sampai pada fase kleptokrasi, yaitu pemerintahan oleh para pencuri.

Tak perlu terkejut mendapati kenyataan bahwa hanya upaya sekedarnya yang dilakukan PSSI untuk menyelesaikan masalah ini. Ketua Umum PSSI yang memiliki pengetahuan sebagai seorang koruptor, berdasarkan bukti empiris tentunya, lebih paham bagaimana melindungi para pelaku dibanding mengungkap kejahatan mereka dan memberi sanksi ”kartu merah” yang berprospek memutus budaya korup. Dan sesuatu yang lazim pula apabila si peniup isu (whistleblower), dalam kasus ini sekaligus sebagai pelaku, justru yang kena getahnya. Fenomena demikian menandai adanya hambatan dan prospek kegagalan yang besar dari tubuh PSSI sendiri untuk memberantas berbagai praktek korupsi dan kolusi di sepakbola nasional. Selagi masih berkuasanya rezim kleptokrasi di tubuh PSSI, maka berbagai upaya yang dilakukan layaknya membentur tembok tebal.

Beberapa waktu yang lalu seorang teman wartawan sebuah tabloid olahraga bertiras besar yang selama ini telah dikenal sebagai promotor suporter sportif kreatif dan pemerhati sepakbola nasional yang kritis, memberikan opininya dalam sebuah kolom. Dalam kolom itu, beliau mengajukan harapan munculnya karakter Semar, yang digambarkan sebagai wayang yang bijaksana, dari Ketua Umum PSSI kita. Lalu timbul pertanyaan akibat tulisan itu, masih relevankah (sekedar) berharap dan berdoa hal baik akan dilakukan sang ketua demi sepakbola nasional? Maukah Nurdin Halid berjiwa besar meniru apa yang Franco Carraro lakukan demi calcio Italia?

Semar, spiritual advisor and magical supporter of the royalty

Relevan atau tidak relevan terkait sulitnya hal itu terwujud, namun setidaknya bisa ditarik benang merah yang sama bahwa ketua atau pemimpin memiliki peran sangat penting dalam hal ini. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa faktor kekuasaan yang menjadi penyebabnya dan sekaligus perubahan harus dimulai dari pemimpinnya. Mengikuti konsep tersebut maka pemberantasan korupsi dan kolusi di PSSI harus dimulai dari akarnya, yaitu kelompok yang memerintah dan penanggulangannya harus pula dengan melibatkan seluruh kelompok tersebut. Apesnya, mungkinkah akan ada upaya perubahan apabila pemimpinnya adalah bagian dari status quo? PSSI sangat memerlukan kepemimpinan yang kuat tetapi sekaligus harus bersih. Hakekatnya apabila menghendaki prestasi bagus dari Tim Nasional, industri sepakbola yang kompetitif maka organisasi yang sehat dengan pengurus-pengurus yang bersih dan profesional adalah paket yang harus disertakan. Untuk mengganti bukanlah perkara mudah. Menjadi Ketua Umum PSSI untuk periode yang kedua nyaris tanpa ada lawan, selain baru diawal tugas tentunya, menyebabkan kuatnya posisi Nurdin Halid untuk didongkel. Selain itu, para pengurus sudah semakin kompak untuk membentengi sang ketua.

Beberapa negara yang dilanda skandal sejenis, senantiasa melibatkan aparat hukum dalam penuntasannya karena masalah suap termasuk dalam kategori perbuatan kriminal. Vietnam telah memberikan contoh bahwa suap yang dilakukan oleh insan sepakbola juga diselesaikan lewat jalur hukum. Atau Italia dengan calciopoli-nya melakukan penyelidikan serius yang melibatkan unsur-unsur penting yang dimiliki oleh negara tersebut. Deutsche Fussball Bund (DFB), federasi sepakbola Jerman, pun mengajukan Robert Hoyzer ke meja hijau setelah menghadiahi sanksi skorsing. Bahkan baru-baru ini, FBI (Federal Bureau of Investigation) dilibatkan untuk mengungkap dugaan adanya suap di kompetisi NBA yang ditahbiskan sebagai kompetisi bola basket terbaik sejagat. PSSI melalui ketua umumnya seharusnya tidak bisa berdalih lagi bahwa ini dalam wilayah PSSI. Tak perlu mengisolasi skandal dan menyembunyikan kasus itu dari upaya penyelidikan hukum.

Sekali lagi, upaya menuntaskan setiap masalah, termasuk didalamnya suap dan kolusi, adalah sebuah jalan dan perjuangan panjang. Saat ini penting untuk terus menjalin kesepahaman antar insan suporter dan pegiat sepakbola yang memiliki itikad baik dan kepedulian besar membangun sepakbola nasional. Disini patut berharap pada munculnya intelektual sepakbola yaitu pegiat sepakbola yang lurus juga tulus, wartawan yang kritis dan solutif, suporter yang dapat menjadi bagian dari "watchdog" yang lebih galak. Intelektual sepakbola ini nantinya harus menjadi kaum pelopor (vanguard) bagi setiap gerakan moral yang muncul apabila terdapat penyimpangan dalam dunia sepakbola nasional

Class action yang dipelopori Danang Ismartani dan alumni UI, teman-teman suporter juga seruan suci dari Solo yang dipelopori Mayor Haristanto sejujurnya masih teramat sedikit. Di masa depan diperlukan lebih banyak elemen suporter dan intelektual sepakbola yang meneriakkan perubahan. Kembali mengingatkan pentingnya peran kaum intelektual yang bercokol di kelompok-kelompok suporter. Bahwa mereka jangan sampai terkungkung dengan fanatisme pada klub dukungannya tapi juga harus peduli dengan kepentingan lebih besar yaitu nasib sepakbola nasional.

And how can we win
When fools can be kings
Don't waste your time
Or time will waste you

No one's gonna take me alive
The time has come to make things right
You and I must fight for our rights
You and I must fight to survive

(Muse - Knights Of Cydonia)