When intention, ability, success, and correctness come together, there happiness is perfected.
Husayn (626 - 680), Islamic religious leader.


Seluruh skuad dan suporter La Furia Roja Spanyol bergembira setelah menuntaskan dahaga gelar selama 44 tahun dan menambah koleksi silverware mereka dengan mengalahkan Der Panzer Jerman melalui gol semata wayang Fernando Torres menit ke-33. Tampil konsisten dengan permainan berkualitas dan selalu menang sepanjang turnamen, ditambah gelar top scorer, best player dan sembilan pemainnya terpilih untuk The Team of the Tournament membuat Spanyol laik-layak disebut sebagai juara sejati. Sukses besar ini merupakan azam dari seluruh skuad Spanyol yang didengungkan lewat Luis Aragones & Fernando Torres sebelum laga final.


Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman yang baru saja menyelesaikan aktivitas pengumpulan data baik primer maupun sekunder untuk kepentingan tugas akhirnya di klub Union Makes Strength (UMS) 80 Jakarta. UMS 80 atau yang lebih sering disebut UMS saja adalah perkumpulan olahraga tertua di Indonesia. Klub yang awalnya bernama Tiong Hoa Hwee Koan Scholar's Football Club ini berdiri pada tahun 1905 dan berganti nama Union Makes Strength pada tahun 1914.

*Ini adalah bagian pertama dari dua tulisan.

Akhir bulan Maret ini hawa panas berhembus dari Stadion Anfield. Di stadion berkapasitas 43.074 penonton tersebut mementaskan pertandingan sepakbola yang sohor dengan titel derby Merseyside antara The Reds Liverpool FC vs. The Toffees Everton. Derby Merseyside edisi yang ke-178 di liga dan ke-207 secara keseluruhan itu bukanlah sekadar pertandingan liga biasa, hiruk pikuknya sudah terasa jauh hari sebelum laga dihelat dan efek pertandingannya tak mudah hilang dalam tempo cepat. Media massa baik lokal maupun global ikut meramaikan dengan publisitas porsi berita dan ulasan yang massif. Selama pertandingan, dua tim bertarung dengan hasrat akan kemenangan dan ketegangan emosi yang lebih dari biasanya. Sedangkan para pendukung, selain dukungan menggebu untuk tim kesayangannya, pun berlaku seakan hendak mengirimkan teror neraka dengan agitasi dan cemoohannya pada para pemain lawan.
Oleh: Aji Wibowo

Liverpool Hustle, Inter Unbolted (19 Februari 2008)
Liverpool 2 (Kuyt 85, Gerard 90), Internazionale 0


Anfield menjadi salah satu stadion terbaik di dunia bukan disebabkan tampilan fisik bangunannya yang modern dan berkapasitas besar layaknya Allianz Munchen, ArenA Amsterdam, dan lainnya. Namun lebih karena tim yang bermain di sana, Liverpool, dan suporternya yang sanggup menyuguhkan atmosfer hebat di dalamnya. Konfirmasi sahih pun tersaji pada saat Liverpool bertemu Internazionale Milan di leg pertama Liga Champion Eropa.

Liverpool alias The Reds a.k.a The Kop, menatap pertandingan dengan bekal situasi yang kurang baik. Pada pertandingan terakhir menjelang melawan juara Serie A ini, Liverpool kalah 1 – 2 dari Barnsley, tim Divisi I, yang membuat mereka tersingkir dari ajang FA Cup 2007 yang tragisnya terjadi di Stadion Anfield, kandang mereka. Disisi lain, La Beneamata Inter justru belum tersentuh kekalahan dan semakin kokoh di puncak kompetisi domestik.

Fakta di atas lapangan ternyata berkata lain. The Reds sepertinya memanfaatkan penuh pengalaman para pemainnya di kancah Liga Champion (juara 2004/2005 & finalis 2006/2007) dan tentunya pendukung serta aura Stadion Anfield. Liverpool adalah salah satu “baron” Liga Champion dan sepertinya tak pernah merasa kikuk untuk bermain gemilang di ajang tertinggi antar klub di benua biru itu. Inter sendiri gagal menyeberangkan dominasi dan kematangan permainannya di daratan Italia melintasi Selat Channel.

Selama dua kali 45 menit, Liverpool benar-benar menunjukkan hasrat untuk menangnya. Stevie G dkk bermain dengan tempo cepat dan memainkan bola lebih sering dibanding Javier Zanetti cs. Dominasi itu semakin kentara setelah dikeluarkannya Marco “Matrix” Materazzi oleh wasit Jerman, Frank De Bleckere, yang membuat prosentase penguasaan bola Inter terus merosot, 36% di akhir babak pertama, 34% di awal babak kedua dan akhirnya keseluruhan Inter hanya memiliki 32% atau 17 menit 22 detik! Meski demikian tak mudah untuk membuka pintu pertahanan gerendel Inter yang seakan tertutup rapat.

Pengalaman Rafa, Pelajaran Mancio
Pertandingan sepertinya akan berakhir imbang dan ketabahan para pemain Inter akan terbayar. Namun, Rafael “Rafa” Benitez punya misi untuk menyeimbangkan kursi manajernya yang sedang goyah. Dia membutuhkan kemenangan dengan berupaya menambah intensitas serangan dengan menukar Lucas Leiva dengan Peter Crouch. Kemudian menarik Ryan Babbel untuk digantikan dengan Jermain Pennant. Kenapa bukan Dirk Kuyt yang diganti?

Pada akhirnya penonton mendapatkan jawabannya, Liverpool saat itu butuh pemain sayap dengan crossing bagus dari sisi kiri Inter dimana Maxwell sudah sangat terkuras staminanya. Namun juga masih tetap membutuhkan pemain depan yang rajin mengganggu pertahanan lawan dan kualitas seorang finisher, disini Kuyt memenuhi kebutuhan tersebut. Dan keinginan Rafa pun terwujud. Kuyt membuktikan fungsinya dan Pennant menjawab dengan dua assistnya. Kejelian Rafa adalah de javu Istanbul 2005. Hasrat menang The Reds-lah yang membuka pertahanan kokoh Inter.

Rafa sukses, bagaimana dengan Mancio? Secara keseluruhan tidak ada blunder dari taktiknya. Kekalahan Inter hasil dari kombinasi dua faktor yaitu penampilan pemain Nerazzuri yang tidak biasanya, dan aksi gemilang permainan menyerang Liverpool. Pelajaran penting justru diperoleh Mancio, Inter ternyata belum mendapat cobaan yang sebenarnya di dalam negeri. Tak pernah kalah bahkan dengan sepuluh pemain sekalipun tidak bisa disamakan di ajang Liga Champion. Mancini harus segera menemukan tonik untuk membangkitkan kembali semangat anak asuhnya. Apabila dibiarkan bisa berdampak pada penampilan di liga domestik. (Pada kenyataannya prediksi ini terbukti, Inter sulit menang bahkan mengalami kekalahan pertamanya di Serie A dari Napoli)'

Kado Pahit Centenary (12 Maret 2008)
Internazionale 0, Liverpool 1 (Torres 64)


9 Maret 2008 genap seabad eksistensi Internazionale Milan sebagai sebuah klub sepak bola. Perayaan centoanni ini bukan momentum remeh yang bisa disetarakan dengan peringatan milad (hari lahir) tahun-tahun sebelumnya. Moment langka yang mesti dirayakan dengan megah dan pastinya meminta kado yang lebih dari biasanya.

Inter jelas tidak ingin seperti yang dialami Real Madrid dalam moment seratus tahunnya. El Real merayakannya tanpa kado yang manis berupa torehan prestasi gemilang dari para pemainnya. Saat itu Los Blancos gagal mendapatkan satu gelar pun dari semua ajang yang diikutinya. Berkaca dari pengalaman Madrid, demi kado yang indah, Inter pun hendak mencoba mengamankan jalur gelar termasuk di ajang Liga Champion.

Menjelang leg kedua ini, situasi internal kedua klub itu terbalik. Inter dirundung krisis pemain belakang dan hanya bisa sekali menang dalam beberapa pertandingan terakhirnya. Di sisi lain, Liverpool justru sedang dalam jalur kemenangannya. Semenjak kalah dari Barnsley di FA Cup, Gerrad cs berturut-turut mengalahkan Inter (H) 2-0, Middlesbrough (H) 3-2, Bolton Wanderers (A) 3-1, West Ham United (H) 4-0, Newcastle United (H) 3-0. Modal lain Liverpool adalah penampilan Fernando “El Nino” Torres yang sedang on fire.

Tak banyak perubahan line up dari kedua tim. Mancio mengganti Ivan Cordoba, Marco Materazzi, dan Maxwell dengan Nelson Rivas, Nicolas Burdisso, dan Patrick Vieira. Sedangkan Rafa hanya mengganti Steve Finnan dengan Jamie Carragher yang berbuah penampilan keseratus vice-captain itu di ajang antar klub Eropa.

Dengan modal kemenangan yang diraihnya saat di kandang, Liverpool bermain lebih lepas, cenderung aman dan mengandalkan serangan balik. Inter yang terjepit, mengambil inisiatif penyerangan dan menguasai permainan dengan beberapa peluang melalui Julio Cruz. Meski prosentase penguasaan bola di tangan Inter namun jelas terlihat bahwa pemain-pemain Liverpool-lah yang banyak berlari dan menutup setiap potensi bahaya dari Inter.

Kartu kuning kedua yang diterima Nicolas Burdisso dan hilangnya kewaspadaan akibat keinginan menggebu menjebol gawang lawan, berbuah pahit bagi Inter. Serangan balik via sayap kiri Fabio Aurelio diakhiri eksekusi elegan dari Fernando “El Nino” Torres. Satu gol yang sangat mematikan sebab mengharuskan Inter menjebol gawang Liverpool sedikitnya empat gol dan tanpa kebobolan lagi. Setelah gol Torres, permainan menjadi hambar dan lebih mirip dengan pertandingan saat sesi latihan. Para pemain Inter sepertinya sudah putus asa dan kehilangan motivasi bahkan untuk sekadar menyelamatkan muka dari kekalahan di depan para tifosinya.

Laju Liverpool ke perempat final UCL, seakan menegaskan kualitas kompetisi English Premiere League. Empat wakilnya tetap utuh dan menjadi yang terbanyak di fase perempat final. Sedangkan empat kontestan lainnya masing-masing mewakili empat negara yang berbeda. Keberhasilan tersebut tentunya bukan produk instan tetapi buah dari upaya serius administratur sepak bola Inggris dalam membangun kompetisi yang hebat.
Oleh: Aji Wibowo

Tutup usianya HM Soeharto, presiden ke-2 RI, Minggu, 27 Januari 2008 pada pukul 13.10 WIB mendapat perhatian yang amat besar dari masyarakat. Dengan campur tangan media, sakit dan meninggalnya Soeharto menjadi peristiwa besar yang mampu meminggirkan berita-berita lainya tentang berbagai problem dan kesulitan yang sedang dialami masyarakat dan bangsa ini. Kematian Soeharto, disaat segala proses hukumnya belum tuntas, ini telah memicu beragamnya pandangan masyarakat terhadap status dan bagaimana menyikapi serta memperlakukan Soeharto. Begitu beragamnya pandangan masyarakat bahkan sudah menjurus pada kecenderungan untuk membelah bangsa ini pada dua kutub, baik yang pro dan kontra Soeharto.

Kedua belah pihak baik yang pro maupun yang kontra memiliki alasan dan motif yang menurut mereka baik. Namun, akan lebih bijak apabila masing-masing pihak tidak memaksakan pandangannya dan membekali pikiran mereka dengan alternatif perspektif yang lebih banyak. Pro kontra itu termasuk persoalan perlunya memaafkan atau tidak memaafkan Soeharto. Seperti yang kita ketahui, keluarga besar Soeharto melalui putri tertuanya, Siti Hardiyanti Rukmana, meminta maaf pada rakyat Indonesia seandainya beliau dalam memerintah dan semasa hidupnya telah berbuat salah.

Setiap agama mengajarkan bahwa meminta maaf adalah pertanda kerendahan hati sedangkan memberi maaf adalah cermin kebesaran jiwa. Ketika Soeharto diwakili keluarga berkenan meminta maaf pada masyarakat sudah semestinya kita yang merupakan bagian dari masyarakat alangkah baiknya memiliki kelapangan hati untuk memaafkan. Kredit khusus pada korban-korban politiknya yang telah bersedia membukakan pintu maaf. Yang harus disesali dalam hal ini adalah tidak dituntaskannya proses hukum Soeharto saat masih hidup.

Soeharto & Sepak bola Nasional
Dalam masa kekuasaannya yang begitu panjang, 32 tahun, mestinya banyak sekali jejak yang ditinggalkan, salah satunya amat mungkin adalah di medium sepak bola nasional. Sayangnya dalam kapasitasnya sebagai presiden tidak banyak catatan yang menunjukkan kontribusi signifikan dari jenderal bintang lima itu bagi perkembangan sepak bola nasional.

Tak banyak referensi yang menautkan Soeharto dengan olahraga rakyat ini. Beberapa sumber hanya menceritakan bahwa Soeharto kecil begitu gemar bermain bola. Dalam penilaian teman-teman masa kecilnya, yang tentunya berbeda dengan penilaian jeli seorang pelatih, Soeharto dianggap handal dalam memainkan si kulit bundar. Terutama dalam melakoni peran sebagai pemain belakang. Karakter “lugas”nya sebagai pemimpin, baik politik maupun militer, bisa jadi tumbuh dari perannya sebagai pemain belakang yang biasanya dikenal tanpa kompromi.

Di masa lalu PSSI pernah menyelenggarakan turnamen sepak bola dengan tajuk Piala Soeharto selama tiga penyelenggaraan pada tahun 1972, 1974, dan 1976. Bermula dari krisis keuangan dan kewibawaan yang parah di tubuh PSSI era Kosasih Poerwanegara SH pada akhir tahun 1972. Saat itu, PSSI menderita defisit keuangan Rp33 juta, tagihan-tagihan yang mendesak terus mengalir, kas kosong, sedangkan usaha-usaha mendapatkan pinjaman dari bank yang dilakukan sementara anggota pengurus tidak membawa hasil. Semua krisis tersebut mendorong Bardosono (yang saat itu menjabat sebagai komisaris umum PSSI) untuk meminta perhatian pemerintah.

Sembari melaporkan berbagai kesulitan yang membelit di organisasi PSSI, Bardosono juga menawarkan gagasan penyelenggaraan turnamen sepak bola dengan mengambil nama Presiden RI kedua itu sebagai nama pialanya. Setelah dilapori, Soeharto yang sudah menjabat selama enam tahun memberi pinjaman Rp12 juta (6-8 bulan tanpa bunga) sebagai modal kerja, dan kemudian mengusulkan 4 tim terkuat dari 8 Besar Kejurnas PSSI 1971 untuk diikutkan dalam Piala Soeharto I/1972. Usul tersebut disetujui oleh rapat pengurus PSSI saat itu. Maka, digelarlah Piala Soeharto I/1972 pada 11-18 Desember 1972.

Untuk memperkaya informasi, berikut adalah rekapitulasi Piala Soeharto:
  • Piala Soeharto I/1972 (11 - 18 Desember 1972)
Piala Soeharto edisi perdana diikuti “4 Besar” Kejurnas PSSI 1971, yaitu PSMS (Medan), Persija (Jakarta), Persebaya (Surabaya), dan PSM (Makassar).
  • Piala Soeharto II/1974 (4 - 11 November 1974)
Pesertanya tetap, yaitu “4 Besar” Kejurnas PSSI periode sebelumnya yaitu: Persija (Jakarta), PSMS (Medan), PSM (Makassar), dan Persebaya (Surabaya). Pada edisi ini PSM Makassar keluar sebagai juara.
  • Piala Soeharto III/1976 (9 - 19 April 1976)
Semula, sebagaimana biasanya, Piala Soeharto III/1976 akan diikuti oleh “4 Besar” Kejurnas PSSI periode sebelumnya. Namun, karena juara Piala Soeharto II/1974, PSM (Makassar) tidak masuk “4 Besar” Kejurnas PSSI 1975, jumlah pesertanya menjadi 5 tim dengan tetap mengikutsertakan PSM (Makassar). Sedangkan peserta lainnya adalah Persebaya (Surabaya), PSMS (Medan), Persija (Jakarta), Persipura (Jayapura). Pada penyelenggaraan yang ketiga diadakan pertandingan final yang mempertemukan peringkat pertama dengan runner-up.
Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan (Jakarta): Persipura (Jayapura) vs Persija (Jakarta) 4-3 (Nico Pattipene 11, Jacobus Mobilala 27, Pieter Attiamuna 31, Timo Kapisa 67; Risdianto 36, Iswadi 41, 90).

Budak Kekuasaan dan Menjamurnya Kroniisme
Dalam kesulitan menemukan benang merah yang pas antara Soeharto dengan sepak bola nasional. Pikiran ini justru nyasar pada kemungkinan benang merah yang lebih cocok yaitu kondisi yang relatif sama adalah bahwa PSSI Nurdin Halid seperti Orde Baru dibawah Soeharto dengan arogansi kekuasaan luar biasa yang sulit untuk dilakukan perubahan. Kekuasaan menjerat mereka untuk selalu tunduk dan menjadi budak kekuasaan itu sendiri.

Relevansi lainnya tentunya adalah kecenderungan untuk melakukan korupsi. Buktinya teramat banyak, untuk NH sendiri diantaranya yaitu "mengkonsumsi" gula terlalu banyak, dan yang terbaru minyak goreng.Selain itu, gejala kroniisme berlaku di PSSI. Lihat bagaimana para pengurus PSSI mati-matian membela ketua umumnya meski dituntut oleh berbagai pihak untuk mundur. Dengan banyak dalih, mereka membentuk "pagar betis" melindungi NH dari hujan kritik dan tuntutan mundur. Bisa jadi loyalitas buta itu terkait kesejahteraan dan kepentingan yang terancam seandainya NH turun.

Kemiripan lainnya diantaranya yakni demokrasi semu sebagai selubung kepemimpinan yang cenderung otoriter, alergi (atau anti?) perubahan, dan pro-kemapanan. Demokrasi yang santer didengung-dengungkan mentok sebatas jargon. Kepemimpinan yang terlalu kuat telah meminggirkan asas demokrasi. Aspirasi, yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakkan negara atau organisasi (untuk PSSI), diabaikan bahkan beberapa diantaranya dibungkam. Baik Soeharto maupun NH dalam praktek kepemimpinannya menjalankan kebijakkan one man show. Khusus NH, bahkan saat di penjara pun masih sempat menelurkan keputusan-keputusan strategis.

Mengenai kuatnya pengaruh Soeharto saat Orde Baru di puncak kekuasaan. Sosiolog Arief Budiman, kakak kandung (alm.) Soe Hok Gie, mengungkapkan pendapat bahwa perubahan Indonesia ke arah demokratisasi hanya mungkin terjadi dari dua sumber. Pertama adalah inisiatif Soeharto sendiri untuk mengubah kepemimpinannya menjadi lebih demokratis, dan kedua, yang terjadi karena desakan massa. Sejarah kemudian membuktikan, Soeharto lengser dan suasana politik Indonesia berubah disebabkan oleh kekuatan massa yang dipandegani mahasiswa yang sohor dengan sebutan gerakan reformasi 1998.

Bagaimana dengan PSSI Orde NH? Sulit untuk berharap NH bisa legowo mandheg pandhita ratu. Jadi, berharaplah dari sumber yang kedua. Masalahnya suporter sebagai jelmaan mahasiswa belum begitu solid, masing-masing kelompok suporter terjebak dengan agendanya masing. Ironisnya, (gosipnya) ada kelompok suporter yang membela NH.

Jalan menuju sepakbola Indonesia maju masih teramat panjang. Butuh kerja keras dan semangat pantang menyerah. Suporter Indonesia, are you ready to fight, fight together?