Oleh: Aji Wibowo

Tutup usianya HM Soeharto, presiden ke-2 RI, Minggu, 27 Januari 2008 pada pukul 13.10 WIB mendapat perhatian yang amat besar dari masyarakat. Dengan campur tangan media, sakit dan meninggalnya Soeharto menjadi peristiwa besar yang mampu meminggirkan berita-berita lainya tentang berbagai problem dan kesulitan yang sedang dialami masyarakat dan bangsa ini. Kematian Soeharto, disaat segala proses hukumnya belum tuntas, ini telah memicu beragamnya pandangan masyarakat terhadap status dan bagaimana menyikapi serta memperlakukan Soeharto. Begitu beragamnya pandangan masyarakat bahkan sudah menjurus pada kecenderungan untuk membelah bangsa ini pada dua kutub, baik yang pro dan kontra Soeharto.

Kedua belah pihak baik yang pro maupun yang kontra memiliki alasan dan motif yang menurut mereka baik. Namun, akan lebih bijak apabila masing-masing pihak tidak memaksakan pandangannya dan membekali pikiran mereka dengan alternatif perspektif yang lebih banyak. Pro kontra itu termasuk persoalan perlunya memaafkan atau tidak memaafkan Soeharto. Seperti yang kita ketahui, keluarga besar Soeharto melalui putri tertuanya, Siti Hardiyanti Rukmana, meminta maaf pada rakyat Indonesia seandainya beliau dalam memerintah dan semasa hidupnya telah berbuat salah.

Setiap agama mengajarkan bahwa meminta maaf adalah pertanda kerendahan hati sedangkan memberi maaf adalah cermin kebesaran jiwa. Ketika Soeharto diwakili keluarga berkenan meminta maaf pada masyarakat sudah semestinya kita yang merupakan bagian dari masyarakat alangkah baiknya memiliki kelapangan hati untuk memaafkan. Kredit khusus pada korban-korban politiknya yang telah bersedia membukakan pintu maaf. Yang harus disesali dalam hal ini adalah tidak dituntaskannya proses hukum Soeharto saat masih hidup.

Soeharto & Sepak bola Nasional
Dalam masa kekuasaannya yang begitu panjang, 32 tahun, mestinya banyak sekali jejak yang ditinggalkan, salah satunya amat mungkin adalah di medium sepak bola nasional. Sayangnya dalam kapasitasnya sebagai presiden tidak banyak catatan yang menunjukkan kontribusi signifikan dari jenderal bintang lima itu bagi perkembangan sepak bola nasional.

Tak banyak referensi yang menautkan Soeharto dengan olahraga rakyat ini. Beberapa sumber hanya menceritakan bahwa Soeharto kecil begitu gemar bermain bola. Dalam penilaian teman-teman masa kecilnya, yang tentunya berbeda dengan penilaian jeli seorang pelatih, Soeharto dianggap handal dalam memainkan si kulit bundar. Terutama dalam melakoni peran sebagai pemain belakang. Karakter “lugas”nya sebagai pemimpin, baik politik maupun militer, bisa jadi tumbuh dari perannya sebagai pemain belakang yang biasanya dikenal tanpa kompromi.

Di masa lalu PSSI pernah menyelenggarakan turnamen sepak bola dengan tajuk Piala Soeharto selama tiga penyelenggaraan pada tahun 1972, 1974, dan 1976. Bermula dari krisis keuangan dan kewibawaan yang parah di tubuh PSSI era Kosasih Poerwanegara SH pada akhir tahun 1972. Saat itu, PSSI menderita defisit keuangan Rp33 juta, tagihan-tagihan yang mendesak terus mengalir, kas kosong, sedangkan usaha-usaha mendapatkan pinjaman dari bank yang dilakukan sementara anggota pengurus tidak membawa hasil. Semua krisis tersebut mendorong Bardosono (yang saat itu menjabat sebagai komisaris umum PSSI) untuk meminta perhatian pemerintah.

Sembari melaporkan berbagai kesulitan yang membelit di organisasi PSSI, Bardosono juga menawarkan gagasan penyelenggaraan turnamen sepak bola dengan mengambil nama Presiden RI kedua itu sebagai nama pialanya. Setelah dilapori, Soeharto yang sudah menjabat selama enam tahun memberi pinjaman Rp12 juta (6-8 bulan tanpa bunga) sebagai modal kerja, dan kemudian mengusulkan 4 tim terkuat dari 8 Besar Kejurnas PSSI 1971 untuk diikutkan dalam Piala Soeharto I/1972. Usul tersebut disetujui oleh rapat pengurus PSSI saat itu. Maka, digelarlah Piala Soeharto I/1972 pada 11-18 Desember 1972.

Untuk memperkaya informasi, berikut adalah rekapitulasi Piala Soeharto:
  • Piala Soeharto I/1972 (11 - 18 Desember 1972)
Piala Soeharto edisi perdana diikuti “4 Besar” Kejurnas PSSI 1971, yaitu PSMS (Medan), Persija (Jakarta), Persebaya (Surabaya), dan PSM (Makassar).
  • Piala Soeharto II/1974 (4 - 11 November 1974)
Pesertanya tetap, yaitu “4 Besar” Kejurnas PSSI periode sebelumnya yaitu: Persija (Jakarta), PSMS (Medan), PSM (Makassar), dan Persebaya (Surabaya). Pada edisi ini PSM Makassar keluar sebagai juara.
  • Piala Soeharto III/1976 (9 - 19 April 1976)
Semula, sebagaimana biasanya, Piala Soeharto III/1976 akan diikuti oleh “4 Besar” Kejurnas PSSI periode sebelumnya. Namun, karena juara Piala Soeharto II/1974, PSM (Makassar) tidak masuk “4 Besar” Kejurnas PSSI 1975, jumlah pesertanya menjadi 5 tim dengan tetap mengikutsertakan PSM (Makassar). Sedangkan peserta lainnya adalah Persebaya (Surabaya), PSMS (Medan), Persija (Jakarta), Persipura (Jayapura). Pada penyelenggaraan yang ketiga diadakan pertandingan final yang mempertemukan peringkat pertama dengan runner-up.
Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan (Jakarta): Persipura (Jayapura) vs Persija (Jakarta) 4-3 (Nico Pattipene 11, Jacobus Mobilala 27, Pieter Attiamuna 31, Timo Kapisa 67; Risdianto 36, Iswadi 41, 90).

Budak Kekuasaan dan Menjamurnya Kroniisme
Dalam kesulitan menemukan benang merah yang pas antara Soeharto dengan sepak bola nasional. Pikiran ini justru nyasar pada kemungkinan benang merah yang lebih cocok yaitu kondisi yang relatif sama adalah bahwa PSSI Nurdin Halid seperti Orde Baru dibawah Soeharto dengan arogansi kekuasaan luar biasa yang sulit untuk dilakukan perubahan. Kekuasaan menjerat mereka untuk selalu tunduk dan menjadi budak kekuasaan itu sendiri.

Relevansi lainnya tentunya adalah kecenderungan untuk melakukan korupsi. Buktinya teramat banyak, untuk NH sendiri diantaranya yaitu "mengkonsumsi" gula terlalu banyak, dan yang terbaru minyak goreng.Selain itu, gejala kroniisme berlaku di PSSI. Lihat bagaimana para pengurus PSSI mati-matian membela ketua umumnya meski dituntut oleh berbagai pihak untuk mundur. Dengan banyak dalih, mereka membentuk "pagar betis" melindungi NH dari hujan kritik dan tuntutan mundur. Bisa jadi loyalitas buta itu terkait kesejahteraan dan kepentingan yang terancam seandainya NH turun.

Kemiripan lainnya diantaranya yakni demokrasi semu sebagai selubung kepemimpinan yang cenderung otoriter, alergi (atau anti?) perubahan, dan pro-kemapanan. Demokrasi yang santer didengung-dengungkan mentok sebatas jargon. Kepemimpinan yang terlalu kuat telah meminggirkan asas demokrasi. Aspirasi, yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakkan negara atau organisasi (untuk PSSI), diabaikan bahkan beberapa diantaranya dibungkam. Baik Soeharto maupun NH dalam praktek kepemimpinannya menjalankan kebijakkan one man show. Khusus NH, bahkan saat di penjara pun masih sempat menelurkan keputusan-keputusan strategis.

Mengenai kuatnya pengaruh Soeharto saat Orde Baru di puncak kekuasaan. Sosiolog Arief Budiman, kakak kandung (alm.) Soe Hok Gie, mengungkapkan pendapat bahwa perubahan Indonesia ke arah demokratisasi hanya mungkin terjadi dari dua sumber. Pertama adalah inisiatif Soeharto sendiri untuk mengubah kepemimpinannya menjadi lebih demokratis, dan kedua, yang terjadi karena desakan massa. Sejarah kemudian membuktikan, Soeharto lengser dan suasana politik Indonesia berubah disebabkan oleh kekuatan massa yang dipandegani mahasiswa yang sohor dengan sebutan gerakan reformasi 1998.

Bagaimana dengan PSSI Orde NH? Sulit untuk berharap NH bisa legowo mandheg pandhita ratu. Jadi, berharaplah dari sumber yang kedua. Masalahnya suporter sebagai jelmaan mahasiswa belum begitu solid, masing-masing kelompok suporter terjebak dengan agendanya masing. Ironisnya, (gosipnya) ada kelompok suporter yang membela NH.

Jalan menuju sepakbola Indonesia maju masih teramat panjang. Butuh kerja keras dan semangat pantang menyerah. Suporter Indonesia, are you ready to fight, fight together?