*Ini adalah bagian pertama dari dua tulisan.

Akhir bulan Maret ini hawa panas berhembus dari Stadion Anfield. Di stadion berkapasitas 43.074 penonton tersebut mementaskan pertandingan sepakbola yang sohor dengan titel derby Merseyside antara The Reds Liverpool FC vs. The Toffees Everton. Derby Merseyside edisi yang ke-178 di liga dan ke-207 secara keseluruhan itu bukanlah sekadar pertandingan liga biasa, hiruk pikuknya sudah terasa jauh hari sebelum laga dihelat dan efek pertandingannya tak mudah hilang dalam tempo cepat. Media massa baik lokal maupun global ikut meramaikan dengan publisitas porsi berita dan ulasan yang massif. Selama pertandingan, dua tim bertarung dengan hasrat akan kemenangan dan ketegangan emosi yang lebih dari biasanya. Sedangkan para pendukung, selain dukungan menggebu untuk tim kesayangannya, pun berlaku seakan hendak mengirimkan teror neraka dengan agitasi dan cemoohannya pada para pemain lawan.
Oleh: Aji Wibowo

Liverpool Hustle, Inter Unbolted (19 Februari 2008)
Liverpool 2 (Kuyt 85, Gerard 90), Internazionale 0


Anfield menjadi salah satu stadion terbaik di dunia bukan disebabkan tampilan fisik bangunannya yang modern dan berkapasitas besar layaknya Allianz Munchen, ArenA Amsterdam, dan lainnya. Namun lebih karena tim yang bermain di sana, Liverpool, dan suporternya yang sanggup menyuguhkan atmosfer hebat di dalamnya. Konfirmasi sahih pun tersaji pada saat Liverpool bertemu Internazionale Milan di leg pertama Liga Champion Eropa.

Liverpool alias The Reds a.k.a The Kop, menatap pertandingan dengan bekal situasi yang kurang baik. Pada pertandingan terakhir menjelang melawan juara Serie A ini, Liverpool kalah 1 – 2 dari Barnsley, tim Divisi I, yang membuat mereka tersingkir dari ajang FA Cup 2007 yang tragisnya terjadi di Stadion Anfield, kandang mereka. Disisi lain, La Beneamata Inter justru belum tersentuh kekalahan dan semakin kokoh di puncak kompetisi domestik.

Fakta di atas lapangan ternyata berkata lain. The Reds sepertinya memanfaatkan penuh pengalaman para pemainnya di kancah Liga Champion (juara 2004/2005 & finalis 2006/2007) dan tentunya pendukung serta aura Stadion Anfield. Liverpool adalah salah satu “baron” Liga Champion dan sepertinya tak pernah merasa kikuk untuk bermain gemilang di ajang tertinggi antar klub di benua biru itu. Inter sendiri gagal menyeberangkan dominasi dan kematangan permainannya di daratan Italia melintasi Selat Channel.

Selama dua kali 45 menit, Liverpool benar-benar menunjukkan hasrat untuk menangnya. Stevie G dkk bermain dengan tempo cepat dan memainkan bola lebih sering dibanding Javier Zanetti cs. Dominasi itu semakin kentara setelah dikeluarkannya Marco “Matrix” Materazzi oleh wasit Jerman, Frank De Bleckere, yang membuat prosentase penguasaan bola Inter terus merosot, 36% di akhir babak pertama, 34% di awal babak kedua dan akhirnya keseluruhan Inter hanya memiliki 32% atau 17 menit 22 detik! Meski demikian tak mudah untuk membuka pintu pertahanan gerendel Inter yang seakan tertutup rapat.

Pengalaman Rafa, Pelajaran Mancio
Pertandingan sepertinya akan berakhir imbang dan ketabahan para pemain Inter akan terbayar. Namun, Rafael “Rafa” Benitez punya misi untuk menyeimbangkan kursi manajernya yang sedang goyah. Dia membutuhkan kemenangan dengan berupaya menambah intensitas serangan dengan menukar Lucas Leiva dengan Peter Crouch. Kemudian menarik Ryan Babbel untuk digantikan dengan Jermain Pennant. Kenapa bukan Dirk Kuyt yang diganti?

Pada akhirnya penonton mendapatkan jawabannya, Liverpool saat itu butuh pemain sayap dengan crossing bagus dari sisi kiri Inter dimana Maxwell sudah sangat terkuras staminanya. Namun juga masih tetap membutuhkan pemain depan yang rajin mengganggu pertahanan lawan dan kualitas seorang finisher, disini Kuyt memenuhi kebutuhan tersebut. Dan keinginan Rafa pun terwujud. Kuyt membuktikan fungsinya dan Pennant menjawab dengan dua assistnya. Kejelian Rafa adalah de javu Istanbul 2005. Hasrat menang The Reds-lah yang membuka pertahanan kokoh Inter.

Rafa sukses, bagaimana dengan Mancio? Secara keseluruhan tidak ada blunder dari taktiknya. Kekalahan Inter hasil dari kombinasi dua faktor yaitu penampilan pemain Nerazzuri yang tidak biasanya, dan aksi gemilang permainan menyerang Liverpool. Pelajaran penting justru diperoleh Mancio, Inter ternyata belum mendapat cobaan yang sebenarnya di dalam negeri. Tak pernah kalah bahkan dengan sepuluh pemain sekalipun tidak bisa disamakan di ajang Liga Champion. Mancini harus segera menemukan tonik untuk membangkitkan kembali semangat anak asuhnya. Apabila dibiarkan bisa berdampak pada penampilan di liga domestik. (Pada kenyataannya prediksi ini terbukti, Inter sulit menang bahkan mengalami kekalahan pertamanya di Serie A dari Napoli)'

Kado Pahit Centenary (12 Maret 2008)
Internazionale 0, Liverpool 1 (Torres 64)


9 Maret 2008 genap seabad eksistensi Internazionale Milan sebagai sebuah klub sepak bola. Perayaan centoanni ini bukan momentum remeh yang bisa disetarakan dengan peringatan milad (hari lahir) tahun-tahun sebelumnya. Moment langka yang mesti dirayakan dengan megah dan pastinya meminta kado yang lebih dari biasanya.

Inter jelas tidak ingin seperti yang dialami Real Madrid dalam moment seratus tahunnya. El Real merayakannya tanpa kado yang manis berupa torehan prestasi gemilang dari para pemainnya. Saat itu Los Blancos gagal mendapatkan satu gelar pun dari semua ajang yang diikutinya. Berkaca dari pengalaman Madrid, demi kado yang indah, Inter pun hendak mencoba mengamankan jalur gelar termasuk di ajang Liga Champion.

Menjelang leg kedua ini, situasi internal kedua klub itu terbalik. Inter dirundung krisis pemain belakang dan hanya bisa sekali menang dalam beberapa pertandingan terakhirnya. Di sisi lain, Liverpool justru sedang dalam jalur kemenangannya. Semenjak kalah dari Barnsley di FA Cup, Gerrad cs berturut-turut mengalahkan Inter (H) 2-0, Middlesbrough (H) 3-2, Bolton Wanderers (A) 3-1, West Ham United (H) 4-0, Newcastle United (H) 3-0. Modal lain Liverpool adalah penampilan Fernando “El Nino” Torres yang sedang on fire.

Tak banyak perubahan line up dari kedua tim. Mancio mengganti Ivan Cordoba, Marco Materazzi, dan Maxwell dengan Nelson Rivas, Nicolas Burdisso, dan Patrick Vieira. Sedangkan Rafa hanya mengganti Steve Finnan dengan Jamie Carragher yang berbuah penampilan keseratus vice-captain itu di ajang antar klub Eropa.

Dengan modal kemenangan yang diraihnya saat di kandang, Liverpool bermain lebih lepas, cenderung aman dan mengandalkan serangan balik. Inter yang terjepit, mengambil inisiatif penyerangan dan menguasai permainan dengan beberapa peluang melalui Julio Cruz. Meski prosentase penguasaan bola di tangan Inter namun jelas terlihat bahwa pemain-pemain Liverpool-lah yang banyak berlari dan menutup setiap potensi bahaya dari Inter.

Kartu kuning kedua yang diterima Nicolas Burdisso dan hilangnya kewaspadaan akibat keinginan menggebu menjebol gawang lawan, berbuah pahit bagi Inter. Serangan balik via sayap kiri Fabio Aurelio diakhiri eksekusi elegan dari Fernando “El Nino” Torres. Satu gol yang sangat mematikan sebab mengharuskan Inter menjebol gawang Liverpool sedikitnya empat gol dan tanpa kebobolan lagi. Setelah gol Torres, permainan menjadi hambar dan lebih mirip dengan pertandingan saat sesi latihan. Para pemain Inter sepertinya sudah putus asa dan kehilangan motivasi bahkan untuk sekadar menyelamatkan muka dari kekalahan di depan para tifosinya.

Laju Liverpool ke perempat final UCL, seakan menegaskan kualitas kompetisi English Premiere League. Empat wakilnya tetap utuh dan menjadi yang terbanyak di fase perempat final. Sedangkan empat kontestan lainnya masing-masing mewakili empat negara yang berbeda. Keberhasilan tersebut tentunya bukan produk instan tetapi buah dari upaya serius administratur sepak bola Inggris dalam membangun kompetisi yang hebat.