From Bondho Nekat to Bondho Luwih

, , 3 comments
“Some people believe football is a matter of life and death; I am very disappointed with that attitude. I can assure you it is much, much more important than that."
Bill Shankly (1913-1981, One of the most successful and respected football manager)

Kalimat yang dilontarkan manajer legendaris The Kop alias Liverpool FC, merepresentasikan tentang karakter luar biasa yang dimiliki oleh para football devotee terutama kaum suporternya. Dalam dunia sepak bola terdapat keniscayaan akan adanya gejala fanatisme penonton dan suporter pada tim yang mereka dukung. Fanatisme ini merupakan fenomena dimana penggemar (fans) atau suporter mengidentifikasikan secara berlebihan (over-identify) pada klub yang mereka dukung. Para penggemar dan suporter ini memandang bahwa klub tersebut sebagai perluasan atau perpanjangan dari dirinya dan terlibat lebih dalam secara emosional pada tim tersebut.


Wujud dari fanatisme tak sekedar perasaan cinta sejati yang melahirkan kesetiaan dan kontribusi positif pada tim yang didukung tetapi juga bisa berupa cinta buta yang disertai perilaku nekat dalam cara mendukung dari para suporternya. Fanatisme dapat menghasilkan efek negatif berupa perasaan tertekan yang dapat mendorong seseorang berbuat tanpa pertimbangan nalar bahkan melakukan tindakan anarkis nan vandalis.

Dalam lingkup global, fanatisme yang kebablasan dan polah anarkis kaum suporter ini dikenal sebagai hooliganisme. Sedangkan dalam lingkup sepak bola nasional kita pernah menjumpai istilah bonekisme untuk menyebut perilaku suporter fanatik tak bermodal yang gemar menyulut kerusuhan. Seperti halnya sebutan hooligans untuk para pelaku hooliganisme, maka pelaku bonekisme disebut suporter bonek.

Fenomenologi Suporter Bonek
Meski hampir semua kelompok suporter di Indonesia memiliki riwayat berbuat kerusuhan namun nama suporter bonek (dengan b kecil) ini kemudian identik dengan pendukung klub Persebaya Surabaya yang dikemudian hari menamakan kelompok suporternya dengan Bonekmania (dengan b besar) selain keberadaan YSS (Yayasan Suporter Surabaya) pimpinan Wastomi Suheri. Dilekatkannya sebutan bonek bagi suporter Surabaya, khususnya Persebaya, tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah yang melatarinya.

Majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2006 memuat sekelumit informasi tentang suporter bonek. Istilah bonek alias bondho nekat atau tak bermodal, sebenarnya sudah populer di Surabaya dan awal kemunculannya berkonotasi positif. Istilah itu dipakai untuk menggambarkan kenekatan pemuda-pemuda Surabaya dalam melawan penjajah Belanda, meskipun tidak punya modal senjata yang cukup.

Munculnya sebutan suporter bonek pada tahun 1987. Diawali dengan sepak terjang harian Jawa Pos melalui Dahlan Iskan, yang pada waktu itu menjabat sebagai pemimpin redaksi, mengerahkan suporter dengan menggunakan sekitar 300 bus untuk mendukung Persebaya yang lolos ke final kompetisi Perserikatan menghadapi PSIS Semarang di Istora (sekarang Stadion Utama Gelora Bung Karno) Senayan. Sedangkan yang tidak terkoordinir, yang sebagian besar dari mereka membawa modal pas-pasan bahkan tak bermodal, berangkat ke Jakarta dengan menumpang kereta api.

Hasil akhir final tersebut telah menempatkan Persebaya di pihak yang kalah. Dengan balutan perasaan kecewa akibat kekalahan klub kesayangannya, para pendukung tak bermodal itu melakukan penjarahan dan aksi anarkis. Sejak peristiwa itulah suporter Persebaya yang tidak terorganisir identik dengan sebutan bonek. Meski pada kenyataannya perilaku sejenis juga pernah dilakukan oleh beberapa kelompok suporter klub lain.

Fenomena suporter bonek menjelma menjadi masalah sosial yang amat mengganggu. Perilaku suporter bonek ini tak hanya kontraproduktif bagi dunia persepakbolaan nasional tetapi juga merugikan kepentingan masyarakat umum. Aksi anarkis mereka menimbulkan kerugian materiil dan tak jarang menagih korban hingga meninggalkan jejak trauma bagi masyarakat. Suporter bonek menebar kecemasan pada hampir setiap jelang dan usai laga Persebaya. Para pelaku kegiatan ekonomi seperti pemilik toko dan pedagang kaki lima berinisiatif tutup dagangan lebih awal sebagai upaya preventif menghindari pemalakan dan penjarahan oleh suporter bonek.

Sampel berikut, sebagian besar bersumber dari Kompas, menunjukkan beberapa ulah anarkis yang pernah dilakukan suporter bonek Persebaya. Tahun 1995, bonek Persebaya terlibat kericuhan yang menewaskan seorang penonton pada laga melawan tuan rumah PSIM Yogyakarta. Pada 5 Mei 2004 Pertandingan antara Persela Lamongan dan Persebaya Surabaya di Stadion Surajaya, Lamongan, juga berakhir rusuh. Kemudian 8 Juni 2006, pendukung Persebaya membuat ulah menjelang laga lawan Mojokerto Putra. Ulah tak simpatik suporter Persebaya juga ditunjukkan saat final Divisi Satu 2006 di Stadion Brawijaya, Kediri, dengan memenuhi sentelban dan bentrok dengan Pasoepati, suporter Persis Solo.

Dengan rekam jejak yang begitu buruk, suporter Persebaya kerap mendapat resistensi diberbagai tempat khususnya dari Panitia Penyelenggara (Panpel) pertandingan tandang Persebaya yang cemas pada potensi keributan yang bakal timbul. Tak hanya Panpel yang alergi dengan kehadiran suporter Persebaya tetapi juga berbagai elemen masyarakat lainnya. Hajatan 8 besar Liga Indonesia 2004-2005 di Jakarta menjadi bukti terang, ketika beberapa ormas di ibukota memaklumatkan ancaman serius sebagai bentuk penolakan pada keberadaan dan perilaku suporter bonek Persebaya. Hal ini berbuntut ditariknya seluruh suporter Persebaya dari Jakarta dan diikuti instruksi mundur tim Persebaya dari 8 besar oleh Ketua Umumnya Bambang DH dengan dalih keamanan dan keselamatan terancam.

Pada akhirnya kesabaran akan aksi negatif para bonek itu sampai pada batas. Kerusuhan ’Asu Emper’ (Amuk Suporter Empat September), yaitu amuk bonek yang mengakibatkan Stadion Gelora 10 November Tambaksari beserta kompleks sekitarnya membara. Membuat Persebaya beserta elemen suporternya menuai sanksi berat dari Komisi Disiplin PSSI. Hukuman tersebut berupa pencekalan selama setahun untuk menggelar pertandingan di seluruh wilayah Jawa Timur bagi Persebaya dan tidak diperkenankan untuk terlihat di stadion mana pun di Indonesia selama tiga tahun bagi bonek dan penonton yang memakai atau membawa atribut berbau Persebaya, apakah dalam bentuk logo, spanduk, atau atribut lainnya. Meski dikemudian hari keputusan ini dipangkas habis-habisan oleh Komisi Banding dan hak prerogative Ketua Umum PSSI. Sanksi ini berdampak mampatnya kesempatan bagi suporter Persebaya sejati untuk mengaktualisasikan hasrat mendukung tim kesayangannya.

Penolakan dan pencekalan pada suporter bonek, dalam wujud sanksi moral dan sanksi hukum, bisa dicerna sebagai simbol habisnya kesabaran dan terbitnya harapan bahwa perilaku bonek yang anarkis alias bonekisme tidak relevan terutama di era suporter sportif kreatif dan seharusnya tidak lagi diberi ruang. Meski demikian upaya rehabilitasi bonekisme diarahkan pada cara yang elegan dan memberdayakan.

Bondho Luwih Iniciatives
Upaya-upaya pun diusahakan untuk merehabilitasi masalah ini. Melihat kecenderungan terus berulangnya kasus kekerasan oleh suporter bonek maupun kelompok suporter lain. Maka tak cukup hanya dengan represi dari aparat saat pertandingan atau pemberian sanksi yang keras untuk pelanggaran tersebut. Apalagi dengan mekanisme penjatuhan sanksi yang kerap tidak jelas dasarnya, tidak tepat sasaran dan tidak memenuhi rasa keadilan. Alih-alih mendidik dan membuat jera yang terjadi justru kelompok-kelompok suporter makin antipati pada PSSI.

Maka diperlukan juga upaya yang lebih menyentuh pada akar permasalahan (core of the problem). Sejatinya munculnya kekerasan dan keributan tidak melulu akibat situasi pertandingan yang abnormal. Seperti wasit yang berat sebelah, pemain yang tidak bermain bersih, suporter tamu yang provokatif, dan aparat keamanan yang over-active. Semua hal tersebut bisa kita definisikan sebagai faktor pemicu. Sedangkan akar masalah seringkali bisa kita dapatkan sebagai faktor diluar pertandingan. Penonton dan suporter yang mudah meledak hanyalah mereka yang menanggung beban hidup yang berat dalam keseharian, kemudian mencari jalan dan media untuk pelampiasan.

Selain kampanye suporter anti-anarkis yang terus digulirkan oleh kelompok-kelompok suporter sportif kreatif. Pemberdayaan ekonomi dan kebijakkan pembangunan yang adil bagi masyarakat urban, sebagai pembentuk struktur suporter bonek, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait menjadi solusi yang tidak bisa ditawar untuk memupus rantai kekerasan. Hal ini merujuk pada tesis yang diapungkan oleh Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006, bahwa akar kekerasan dan terorisme bersumber pada kemiskinan dalam masyarakat. Khususnya kemiskinan yang mereka alami akibat ulah segelintir orang yang merampok kekayaan negara. Radikalisme yang meledak adalah akumulasi akibat kungkungan kemiskinan dan sakit hati yang terus menerus. Jadi segala upaya untuk menghapus bonekisme dalam sepakbola tidak akan berjalan tuntas apabila tidak menolong para pelaku rusuh itu memperbaiki kehidupan dan berlaku adil pada mereka. Kenyataannya para bonek tersebut rata-rata berangkat dari kelas dalam masyarakat yang secara pendidikan rendah, pengangguran dan termarginalkan secara sosial ekonomi.

"I believe putting resources into improving the lives of poor people is a better strategy than spending it on guns."

Inisiatif-inisiatif tersebut juga dapat berlaku untuk perkara-perkara keributan oleh kelompok suporter lainnya. Berkaca pada fakta bahwa kekerasan oleh suporter lebih didominasi oleh kelompok suporter dari kota-kota besar yang notabene memiliki problem sosial yang lebih pelik berupa banyaknya warga miskin, angka pengangguran yang tinggi, kenakalan remaja dan tingginya tingkat kriminalitas. Kehidupan yang serba tidak enak dan dipinggirkan membentuk karakter yang keras dan tidak peduli dalam masyarakat tersebut.

Upaya pemberdayaan suporter tidak akan berjalan ideal apabila hanya melibatkan insan-insan dalam lingkup sepak bola semata. Kita perlu untuk menuntut keterlibatan secara intensif dan komprehensif dari pihak-pihak yang bersinggungan dengan kepentingan pengentasan kemiskinan, kondusifnya situasi keamanan, dan lancarnya pembangunan. Harus ada perubahan cara pandang, bahwa penanganan kekerasan suporter masuk dalam bingkai besar pembangunan masyarakat yang lebih manusiawi. Tidak lagi menelurkan kebijakkan yang memojokkan masyarakat dengan berpihak pada para pemilik modal.

Langkah pemberdayaan juga tidak serta merta menempatkan bonek sebagai obyek melainkan memberi kesempatan pada mereka untuk ikut memberdayakan diri dan diberi harapan untuk memperbaiki namanya. Dengan kerjasama yang kompak antara insan sepak bola dan pemerintah diharapkan dapat sedikit demi sedikit mengangkat status suporter bonek menjadi suporter bondho luwih.

Dengan bondho luwih atau kelebihan modal, penonton dan suporter diasumsikan memiliki kehidupan bermasyarakat yang setidaknya minim persoalan. Sehingga datang ke stadion sebagai kegiatan rekreatif dan aktualisasi kecintaan pada klub yang didukung. Untuk mewujudkan suporter bondho luwih haruslah mengajak berbagai pihak yang senantiasa memelihara harapan, kecintaan dan kepeduliannya pada sepak bola tanah air yang lebih baik. Untuk berbagi ide dan sumbangsih pemikiran untuk selanjutnya dieksekusi oleh tangan-tangan dingin nan bersih dalam wujud yang nyata. Diharapkan ada banyak alternatif cara pemberdayaan yang dapat direkomendasikan oleh pemikir-pemikir dedikatif.

Untuk selanjutnya pesan Bruce Lee yang mengutip dari Johann Wolfgang von Goethe ini pantas untuk dijadikan renungan. “Knowing is not enough, we must apply. Willing is not enough, we must do.

3 comments:

Helman Taofani mengatakan...

Sayangnya, beberapa kelompok suporter lebih meneladani Bruce Lee dari sisi yang lain...hehehe.

Menurut saya sih gejolak kultur-kedaerahan lebih menonjol timbang masalah teknis semacam wasit dan sebagainya. Saya berpendapat demikian karena partai-partai rawan rusuh sebetulnya bisa diidentifikasi antara dua daerah yang memiliki tingkat rivalitas kultur tinggi. Umumnya berdekatan secara geografis. Ambil contoh: Surabaya dengan Malang. Semarang dengan Solo. Solo dan Jogja. Jakarta dengan Bandung. Dan sebagainya.

Bonek terbidik sebagai contoh dari segala contoh buruk karena memang klub yang mereka dukung memungkinkan pertemuan dengan rival-rival yang potensial mendatangkan persaingan sengit. Mereka bisa bertemu dengan Arema, Persija, dan sebagainya. Buktinya, ketika Persebaya diletakkan satu grup dengan tim-tim dari timur, tingkat kerusuhan bonek menurun.

Jadi menurut saya, faktor terbesar ketegangan antar-suporter masih berkutat pada kultur kedaerahan.

Daeng Ipul mengatakan...

Alo Mas Aji..
Wah, sorry banget nih..seminggu ini (sampe sekarang) internet di kantor saya lagi ngadat, ada perbaikan jaringan. Padahal sy dari dulu pengen ngasih komen dib log anda.

Sebenarnya sih bukan komen, apa yak..lebih tepatnya tuker pikiran kali yak..?. dr awal sy emang sdh tertarik dng blog anda yang membahas soal supporter sepakbola. Nah, sy ingin mengyoroti sedikit ttg perilaku supporter di 3 negara besar sepakbola di Eropa, Italy,Inggris dan Spanyol. Mas Hilman pernah nulis panjang lebar ttg prilaku supporter di Italy yg sedikit banyaknya memang “dirasuki” unsure politis, apalagi di Spanyol yang memang kental banget aliran politisnya. Kalo di Inggris, nah ini dia yang menurut saya aga beda. Dalam negeri, supporter mereka tergolong supporter yang “manis”, jarang ada kerusuhan dalam skala besar antar supporter, kalopun ada kerusuhan skalanya lebih kecil dan nyaris nggak meninggalkan korban jiwa. Kebanyakan latar belakang pertikaian antar kelompok supporter kan juga karena dendam lama, ato rivalitas turun temurun tanpa adanya nuansa politis (apalagi yg bersifat separatis), jadi ingat film “GREEN STREET HOLIGANS”, di sana kan dipaparkan dengan jelas gimana kegiatan para supporter garis keras tersebut. Supporter Inggris bisa dengan berbesar hati bertepuk tangan dan memberi semangat kepada tim kesayangannya bahkan saat tim mereka terdegradasi, berbeda dengan di Italy yang biasanya para supporter malah mencaci maki jagoan mereka kala terpuruk, ato di Spanyol saat ekspektasi supporter demikian besar dan tidak tercapai, yang ada malah kecaman dan tekanan saat tim bermain di kandang.

Tapi anehnya, supporter Inggris saat “melancong” ke luar negeri entah dalam pagelaran kejuaraan antar klub Eropa ato kejuaraan dunia dalam rangka mendukung timnas, mereka paling terkenal sebagai perusuh, paling diawasi oleh para polisi, dan paling bikin warga sekitar deg-degan. Aneh memang ya, dalam negeri mereka cukup sopan, tapi kalo udah keluar wah..menakutkan..

Buat saya, dunia supporter sepakbola emang sangat beragam dan sangat mengundang rasa ingin tahu. Fanatisme, totalitas dan kreatifitas adalah semangat baru dalam setiap pertandingan sepakbola. Saya juga cukup kagum sama supporter Korsel yang siap memerahkan stadion setiap kali timnas mereka main di kandang, pertanyaannya : mampukan supporter kita besok “memerahkan” Gelora Bung Karno saat PSSI bertanding…?

obat pengering luka mengatakan...

Buat saya,obat hepatitis pada anak dunia supporter sepakbola emang sangat beragam dan sangat mengundang rasa ingin tahu. Fanatisme, totalitas dan kreatifitas adalah semangat baru dalam setiap pertandingan sepakbola. Saya juga cukup kagum sama supporter Korsel yang siap memerahkan stadion setiap kali timnas mereka main di kandang, pertanyaannya : mampukan supporter kita besok “memerahkan” Gelora Bung Karno saat PSSI bertanding…?