Tulisan ini adalah yang teraneh yang pernah dipostingkan di blog ini. Meski di upload tanggal 24 Desember tapi kejadian sesudahnya masih terangkum di dalamnya. Sebabnya adalah munculnya peristiwa-peristiwa tragis sepak bola nasional yang begitu menggugah dan mengiris batin.

Warta buruk tentang dunia sepak bola nasional seakan tak pernah bosan menyambangi kita. Temanya tak pernah beranjak dari suporter anarkis, skandal internal pengurus, kompetisi dengan mutu pertandingan minimalis, sportifitas rendahan pemain dan official, kinerja perangkat pertandingan yang amburadul, dan tentunya mampatnya prestasi tim nasional dikancah internasional.


Fakta terkini tersaji pada babak delapan besar Liga Djarum Indonesia 2007 saat pertandingan Arema Malang melawan Persiwa Wamena. Serangkaian keputusan kontroversial wasit dan perangkatnya memicu terjadinya pemukulan terhadap korps pengadil pertandingan dan berlanjut dengan amuk suporter yang ironisnya dilakukan oleh massa Aremania, pendukung Arema, yang dianggap sebagai guru kelompok suporter kreatif di Indonesia. Stadion Brawijaya Kediri membara dan lebur.

Sehari kemudian, menyusul insiden tak kalah memalukan lainnya di stadion Manahan Solo yaitu adu fisik beberapa pemain Persija Jakarta dan Persik Kediri. Kebobrokan sepak bola nasional seakan menjadi sempurna saat sanksi dari Komisi Disiplin diabaikan oleh para pemain terhukum. Kepercayaan pada PSSI sebagai administrator alias pengelola sepak bola nasional tercampak ke titik nadir karena diskriminatif dan tidak konsisten dengan aturan yang diputuskannya sendiri.

Rentetan masalah itu seperti fenomena gunung es, kejadian-kejadian tersebut hanyalah puncak dari sekian banyak kisah gelap sepak bola nasional. Kasus Kediri dan Solo itu bukanlah kejadian yang berdiri sendiri dan bukannya tanpa sebab yang jelas. Meledaknya segala kekacauan pada pelaksanaan babak delapan besar adalah akumulasi dari ketidakberesan organisasi PSSI dan penyelenggaraan kompetisi sepak bola di Indonesia.

High Cost Competition
Pada pelaksanaannya, kompetisi Liga dan Copa Indonesia telah menyedot begitu banyak ongkos. Setiap tahun tak kurang ratusan milyar rupiah dihamburkan baik oleh sponsor, klub, dan tentunya masyarakat pecinta sepak bola. Klub peserta rata-rata menganggarkan belasan milyar rupiah demi mengarungi roda kompetisi.

Namun semua biaya besar itu tidak melulu habis untuk kebutuhan wajar suatu kompetisi tapi terdapat juga biaya siluman (non-football cost). Sudah menjadi rahasia umum bahwa dana tersebut digunakan diantaranya untuk "menjamu dan menyejahterakan” wasit, paket "promosi dan degradasi", tawar menawar sanksi, serta memperlancar legalisasi dan akreditisasi pemain.

Anggaran klub yang sudah sedemikian terbebani oleh menggelembungnya harga kontrak dan gaji pemain asing serta lokal, akan semakin berat dengan adanya “biaya rupa-rupa” tersebut. Pahitnya hampir semua ongkos transaksi hitam itu dibiayai dari APBD alias uang rakyat. Belum lagi lamanya durasi kompetisi karena PSSI melalui BLI terlalu lentur (baca: inkonsisten) dengan rancangan jadwal yang dibuatnya mengakibatkan pembengkakan biaya.

In finem omnia: Kredo Salah Tafsir
Kemenangan adalah segalanya, nyata-nyata masih menjadi kredo bagi pegiat sepakbola di Indonesia. Dengan filosofi tersebut, yang terjadi adalah ketidakdewasaan sikap dan budaya anti-sportifitas. Setiap hasil selain menang apalagi kalah akan berujung pada kemarahan. Hal inilah yang menyeret official klub untuk menempuh segala cara termasuk melalui “jalur gelap” demi sebuah kemenangan. Akhirnya kemenangan tidak melulu ditentukan di atas lapangan hijau tetapi juga ditentukan oleh kekuatan tawar menawar di luar lapangan.

Filosofi ini bukan hanya monopoli pihak klub dengan kekuatan uangnya tetapi juga merasuk di setiap jiwa pendukungnya. Fanatisme dan militansi yang diwujudkan dengan gaya dukungan penuh semangat termasuk bermodal nekad mendampingi kemana pun tim kesayangannya bertanding adalah manifestasi dari hasrat untuk menjadi saksi kemenangan tim kesayangannya.

Hasrat tersebut bahkan seringkali berujung dengan pengorbanan nyawa dari suporter. Seperti yang terjadi pada Malik Fadli Fadilah, The Jakmania, yang tewas dalam perjalanan ke Stadion Lebak Bulus menjelang pertandingan ke-34 Liga Djarum Indonesia antara Persija melawan Semen Padang. Fadilah menyusul suporter sepakbola Indonesia lainnya yang terlebih dahulu martir pada kompetisi-kompetisi sebelumnya sebagai fanaticus anonymous seperti Suherman (suporter Persebaya), Beri Mardias (pendukung PSP Padang), Abdul Rochiem dan Mat Togel (Aremania).

Hal itu bermakna bahwa kompetisi sepak bola di negeri kita tak hanya mahal secara hitungan ekonomis namun juga dari segi yang lain. Berbagai kerusuhan dan keributan yang sempat mengemuka secara tidak langsung telah menambah kerugian yang ditimbulkan dari penyelenggaraan kompetisi. Polah anarkis penonton dan suporter semakin mencoreng citra sepak bola, mengganggu kepentingan umum, mengorbankan nyawa dan meninggalkan trauma pada masyarakat.

Dengan berbagai anomali tersebut, pada akhirnya kompetisi kehilangan idealisme, tujuan dan ruh kompetisi. Kompetisi yang dijalankan adalah pseudo kompetisi alias kompetisi palsu. Dimana setiap pertandingannya menjadi sekedar dagelan dengan skenario.

Moratorium Kompetisi & Pembenahan Organisasi
Uang, harga diri bahkan nyawa telah dikorbankan sementara kompetisi berjalan sedemikian kacaunya. Semua yang dikorbankan akan sia-sia apabila insan sepak bola nasional tak sadar diri dan kembali gagal mengambil hikmah dari pengalaman. Puncak kekacauan ini harusnya dijadikan momentum strategis untuk melakukan pembenahan dan perubahan. Dan dengan prioritas perubahan adalah para pengurus PSSI sebagai regulator dan pihak dengan saham dosa terbesar.

Langkah konkret pembenahan dan perubahan dapat dimulai dengan moratorium atau penghentian sementara kompetisi untuk memberi kesempatan PSSI menata ulang organisasi dan sistemnya. Hal mendesak yang harus segera dilakukan oleh pengurus PSSI yaitu mengakomodasi permintaan FIFA untuk merevisi pedoman dasar melalui mekanisme Munaslub. Keseriusan pengurus untuk merevisi pedoman dasar sesuai dengan statuta FIFA akan menjadi modal awal mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat sepak bola nasional.

Upaya vital lainnya adalah segera mengganti ketua umum PSSI yang cacat hukum dengan pemimpin baru yang bersih dan berkomitmen memajukan sepak bola nasional. Sebab hanya dengan memiliki pemimpin yang berwibawa juga organisasi yang bersih dan berani menegakkan aturanlah sepak bola Indonesia bisa dibangunkan kembali. Untuk menjamin pengurus tidak main-main dalam membersihkan organisasinya maka stakeholder yang lain seperti suporter dan pecinta sepak bola nasional harus selalu mengawasi proses revisi dan pembenahan itu dengan kritis.

Sepakbola Italia alias calcio (sekali lagi) berkalang duka, nyawa manusia tertagih selagi event Lega Serie-A hendak dilangsungkan. Menjelang pertandingan di giornata 12, Gabriele “Gabbo” Sandri, Laziale (tifosi klub Societa Sportiva (SS) Lazio) berumur 26 tahun yang juga seorang disc jockey tenar di Roma, menjadi korban kesekiankali dari ganasnya kompetisi calcio. Sandri terkulai di dalam mobilnya di jalan bebas hambatan Badia al Pino Arezzo setelah peluru dari pistol Beretta 92 caliber 9 mm milik seorang polizia bernama Luigi Spaccararotella “nyasar” menembus lehernya.
:Catatan atas dijebloskannya kembali Ketua Umum PSSI ke penjara

Oleh: Aji Wibowo

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"
(Albert Camus, 7 Nov 1913 - 4 Jan 1960)

Bola bukan sekadar bola. Di era globalisasi ini tentulah familiar dengan istilah sportainment yang mengonfirmasikan fakta bahwa olahraga tak lagi sekadar olah tubuh dan pemelihara kesehatan jasmani namun sekaligus sebuah industri hiburan dan bisnis pertunjukan yang sanggup mengundang ribuan suporter dan jutaan pemirsa. Sepakbola merupakan salah satu cabang olahraga. Meski demikian sepak bola adalah cabang olahraga yang jauh melampaui dari sekedar sportainment. Sepakbola adalah tentang falsafah hidup, representasi konflik dan kompetisi, ekspresi semangat dan perjuangan manusia, juga pelajaran akan moralitas dan kewajiban.

Albert Camus, filsuf eksistensialis Prancis, mestilah tak sekedar asal bicara tentang hutang budinya pada sepakbola namun sebenar-benarnya memahami dan terinspirasi dengan esensi sportivitas, fairplay dan good sportsmanship, yang merupakan jiwa dari permainan sepakbola. Pesan tentang moralitas dan tanggung jawab akan tugas tersebut bisa dengan ajakan langsung dalam rupa slogan di bendera atau spanduk di sekitar arena pertandingan. Namun pesan lebih jelasnya tertangkap lewat permainan di atas lapangan. Inspirasi sejati lahir dari rahim permainan yang jujur, kepatuhan pada aturan main, penghargaan pada lawan main, dan juga penghargaan pada korps pengadil pertandingan.

Berikut adalah beberapa ilustrasi tentang inspirasi good sportsmanship, sportivitas dan fair play. Pertandingan FA Carling Premiership antara Arsenal vs. Liverpool di (alm.) Stadion Highbury pada 24 Maret 1997 silam menjadi salah satu memorable matches ketika striker Liverpool, Robbie Fowler, menolak hadiah penalti dari wasit Gerald Ashby. Berdasarkan alasan jujur bahwa terjatuhnya dia di kotak penalti Arsenal bukan akibat dilanggar oleh kiper David Seaman. Pada akhirnya eksekusi penalti tetap dilakukan, Fowler maju sebagai algojonya (dan mengeksekusinya dengan lemah). Untuk sikap gentleman-nya, Fowler kemudian mendapat ganjaran penghargaan UEFA Fair play Award 1997.

Memorable moment at Highbury

Bahkan pemain bengal nan kontroversial Paolo di Canio, yang sebelumnya pernah diskorsing sebanyak 11 pertandingan sebab mendorong wasit, pun masih sanggup memberi teladan dengan mengedepankan hati nurani. Pada tahun 2000 pertandingan antara Everton melawan tim yang dibela di Canio, West Ham United, di stadion Goodison Park. Saat itu Di Canio, meski dalam posisi yang amat leluasa, memilih untuk tidak menjebol gawang Everton demi melihat penjaga gawang Everton, Paul Gerard, tergeletak cedera. Tak ayal perilaku di Canio ini menuai pujian, mendapat FIFA Fair play Award 2001 dan seketika mengganti reputasi buruk yang pernah melekat sebelumnya.

FIFA Fair play Award 2001

Yang terbaru yaitu kejadian di Carling Cup 2007 ketika para pemain klub Leicester City memberi jalan pada kiper Notingham Forest, Paul Smith, untuk mencetak gol diawal pertandingan sebagai bentuk penghormatan setelah Forest pada pertemuan pertama bersedia untuk menghentikan pertandingan saat unggul 1 - 0 pada jeda pertandingan karena ada pemain Leicester City, Clive Clarke, yang menderita serangan jantung.

Di lapangan sepakbola seorang pemain akan menuai cemooh atau pujian dari mayoritas penonton tidak hanya karena suguhan ketinggian skill dan tehnik olah bola saja namun bagaimana menunjukkan moralitas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemain selama pertandingan. Hal tersebut juga berlaku pada elemen pertandingan lainnya seperti pelatih, perangkat pertandingan dan penonton atau suporter. Selain sanksi moral dari masyarakat sepakbola, menunggu pula sanksi hukuman yang tegas dari otoritas sepakbola yang berwenang jika elemen-elemen pertandingan tersebut gagal melaksanakan tanggung jawabnya dan lalai dalam menjaga sikap serta perilakunya.

Sepakbola pun bisa menjadi sarana efektif untuk menyampaikan dan memperjuangkan pesan-pesan moral tertentu. Seperti kampanye anti-Rasisme dan anti-perang baik yang resmi atau independen oleh segelintir penontonnya, a minute silence dan pemakaian ban hitam sebagai tanda simpati duka cita atas meninggalnya sosok baik di dalam maupun di luar sepakbola atau adanya tragedi kemanusiaan, pertandingan amal untuk menggalang dana bagi kepentingan sosial.

Bangkai di Tengah Telaga. Sepakbola pun dapat diumpamakan layaknya telaga dimana banyak orang bisa menimba air inspirasi dan teladan seperti yang Camus lakukan. Namun sangat mungkin terjadi, keindahan dan kejernihan telaga inspirasi itu tercemar oleh pengkhianatan terhadap esensi fairplay, sportifitas dan good sportsmanship. Kekerasan di lapangan baik oleh pemain atau pun penonton, skandal yang melibatkan perangkat pengadil pertandingan, pengaturan skor dengan campur tangan pihak luar seperti mafia dan bandar judi, perilaku pengurus otoritas sepakbola yang minor lagi korup dan sebagainya. Di samping itu, penilaian akan moral pelaku sepakbola juga sering dikaitkan dengan perilaku mereka di luar lapangan. Banyak sampel yang menunjukkan betapa nama tenar kemudian dipandang miring dan mendapat sanksi skorsing akibat aksi criminal seperti terlibat perkelahian, skandal seksual, pelanggaran lalu lintas dll. Jadi, setiap perilaku menyimpang di dalam dan di luar lapangan pertandingan oleh insan sepakbola seringkali berdampak langsung pada citra sepakbola itu sendiri.

Realitasnya sepakbola akhirnya tak selalu berupa telaga jernih sumber air inspirasi tetapi juga bisa berubah menjadi danau cemar yang butuh upaya untuk dibersihkan. Seperti yang terjadi dengan sepakbola Indonesia. Nurdin Halid (selanjutnya ditulis NH), sang Ketua Umum PSSI, kembali “berkantor” di rumah tahanan. Untuk menjalani vonis hukuman dua tahun, berdasarkan keputusan kasasi yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung putusan Nomor 1384K/Pid/2005 tanggal 15 September 2007, pada kasus korupsi distribusi minyak goreng senilai Rp167,71 milyar. Setelah sebelumnya, pada periode pertama menjabat Ketua Umum PSSI tahun 2005, juga harus menginap “hotel prodeo” untuk vonis dua tahun akibat kasus penyelundupan ribuan ton gula ilegal. Masuk rumah tahanan Salemba 18 September 2007 atau hanya enam hari setelah dilantik sebagai anggota DPR. Celakanya, selain kasus minyak goreng masih ada kasus yang dapat menjerat dan memaksa NH kembali ke bui yaitu kasus BPPC.

Dan seperti pada dua tahun lalu, NH kembali enggan untuk mundur dari jabatannya meski banyak pihak menyuarakan keprihatinan dan menyarankan untuk berbesar hati menyerahkan mandat. Hebatnya para pengurus PSSI baik pusat maupun di daerah mendukung penuh pilihan sang ketua. Dalam setiap kesempatan, yang keluar selalu pembelaan mati-matian terhadap ketua pilihan mereka.

Solusi Moral dan Hak (Suara) Suporter. Berharap kebesaran jiwa dan sikap legowo dari NH serta kroninya seperti memecah batu dengan tangan telanjang alias sangat sulit. Mestinya tanpa perlu menunggu rekomendasi dan keputusan dari FIFA, seluruh insan sepakbola nasional punya sikap dan solusi untuk memupus kisruh ini. Dengan menilik kembali pada esensi-esensi yang termuat pada permainan sepakbola maka penyelesaian kisruh NH mestinya tak perlu menjadi polemik yang berlarut-larut. Pelanggaran pada esensi fair play dan sportifitas apabila tidak dihentikan akan menjangkiti yang lain. Apa yang NH lakukan adalah preseden. Apabila pucuk pimpinan dan kawan-kawan pengurusnya dengan tanpa beban dan tanpa gangguan leluasa melakukan pelanggaran serta mempermainkan aturan maka sangat mungkin para pemain dan pelaku dilapangan akan semakin beringas dan gaduh pula melakukan pelanggaran akibat dari krisis kepercayaan.

Dengan pertimbangan aspek moral maka alasan-alasan prosedural, bahwa NH tidak perlu untuk diganti, yang selama dipakai oleh pengurus dalam pembelaan mereka bisa dikesampingkan. Terdapat kepentingan jangka panjang yang lebih besar yang harus dikedepankan daripada mempertahankan satu orang meskipun secara prosedural memungkinkan. Kenyataannya, FIFA pun tidak mengakui hasil Munaslub di Makassar. Dalam statuta FIFA, pada pasal 32 ayat 4 standart statutes, secara tegas memaparkan bahwasanya pengurus organisasi sepakbola haruslah orang yang aktif di sepakbola dan tidak tersangkut masalah kriminal. So, mau diteruskan Puang?

Terkait membebeknya para pengurus pada NH (baca: ketua umum) menunjukkan lemahnya inisiatif para pegiat sepakbola baik di daerah maupun di pusat untuk memulai perubahan. Jadi di masa depan, suporter harus mengambil peran penting dalam proses perubahan di tubuh otoritas tertinggi sepakbola Indonesia. Dengan besaran massanya yang luar biasa maka ketika suporter bersuara bisa menjadi kekuatan penekan yang efektif. Selama ini beberapa kelompok suporter sudah menampakkan keprihatinannya pada ketidakbecusan pengurus PSSI. Beberapa dari mereka pun hanya mengungkapkan lewat spanduk dan kaos yang dikenakan. Seandainya kelompok-kelompok suporter, yang prihatin dengan nasib PSSI dan prestasi sepakbola nasional, menyatukan sikap meski dalam urusan dukung mendukung klub mereka berkonflik, maka harapan untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia tetap menyala. Bagaimana suporter Indonesia, Are you ready to fight, fight together?

Oleh: Aji Wibowo


Fajar Ramadhan pun semburat tiba menyapa. Bulan suci penuh baraqah dan ampunan, datang melipur kerinduan umat Islam akan kewajiban beribadah puasa demi untuk menyempurnakan derajat ketakwaan mereka di hadapan Allah. Dengan segala keutamaan yang dimilikinya, menjadikan bulan Ramadhan berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Maka lazim apabila kemudian terdapat banyak perubahan (baca: penyesuaian) sikap, perilaku, dan aturan di banyak sektor kehidupan lainnya baik yang ditentukan oleh otoritas tertentu maupun yang muncul karena kesadaran dari tiap-tiap insan. Fenomena senada juga dilakukan pada para penganut agama lain yang tidak melaksanakan ibadah puasa. Terbitnya empati dalam bentuk pengertian dan penyesuaian sikap sebagai wujud toleransi antar umat beragama.

Pun demi (alasan) menghormati pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, PSSI ikut menyesuaikan dengan menelurkan keputusan untuk meliburkan sementara setiap kompetisi yang berada dibawah naungannya. Jeda kompetisi yang bukan saat paruh musim ini merupakan salah satu dari beberapa kebijakan mengistirahatkan kompetisi yang pernah ditetapkan PSSI. Contoh jeda kompetisi yang sejenis diantaranya yaitu saat hajatan AFC Asian Cup 2007 bulan Juli lalu. Jadi selain sebagai kompetisi paling padat di dunia, Liga Indonesia adalah kompetisi paling lentur (baca: inkonsisten) dengan rancangan jadwal sebelum liga dimulai.

Terkait libur kompetisi ini, muncul pendapat bahwa meliburkan kompetisi pada momen puasa Ramadhan ini juga bisa dipandang baik sebagai upaya preventif efektif dari kemungkinan timbulnya dosa bagi para pelaku dan pegiat sepak bola yang juga mayoritas muslim. Siapapun mahfum bahwa berkecimpung di dunia sepak bola (khususnya di Indonesia) berarti menempuh resiko besar melakukan dan terlibat aktivitas kotor meski masih banyak pelaku yang berkomitmen baik tentunya. Resiko tersebut belum lagi termasuk masifnya godaan dan panasnya suhu kompetisi dan konflik di atas lapangan hijau yang bisa menyeret banyak pihak terpancing emosinya dan menoreh dosa.

Puasa selama satu bulan penuh dengan esensi “menahan diri”, terutama menahan diri dari makan dan minum, di satu sisi dipandang dan dikeluhkan (biasanya para pelatih) bisa memberi pengaruh turunnya kemampuan fisik dan stamina dari pemain dan atlet olah raga lainnya. Berubahnya pola istirahat, makan dan minum termasuk kuantitas serta kualitas asupan makanan yang dikonsumsinya, sedikit banyak memengaruhi kebugaran para prajurit lapangan hijau. Namun alasan pokoknya adalah berkurangnya porsi latihan yang harus dilahap oleh para pemain yang berefek langsung pada kekuatan fisik dan stamina pemain.

Namun tesis itu segera saja mendapat anti-tesis dengan banyak sekali kajian yang menunjukkan hikmah dan khasiat puasa Ramadhan bagi kesehatan jasmani selain tentunya bagi kesehatan jiwa atau ruhani. Beberapa penelitian ilmiah bahkan membuktikan pengaruh positif puasa bagi kesehatan tubuh seperti; memperkuat daya tahan tubuh, menyembuhkan dari penyakit tertentu, dan meningkatkan produktivitas. Namun segala manfaat bagi jasmani itu tak bakal berlaku efektif apabila para pelaku puasa tidak memiliki kesadaran bahwa ritual yang mereka tunaikan adalah konsekuensi iman kepada Penciptanya. Artinya hikmah bagi ruhani dan jasmani itu akan diperoleh apabila mereka tidak berhenti hanya pada esensi menahan diri dari makan, minum dan hasrat seksual di siang hari di bulan Ramadhan tetapi juga mengendalikan diri dari nafsu-nafsu yang berlebihan setelah berbuka bahkan setelah berpisah dengan Ramadhan. Dengan demikian tidak akan ada ritual “balas dendam” sewaktu berbuka puasa dengan makan dan minum berlebihan yang kontraproduktif bagi kesehatan.

Dengan nilai dan filosofi dalam ibadahnya memberi kesempatan bagi semua pihak yang berkecimpung di dunia persepakbolaan tanah air untuk meluruskan kembali niat dan komitmen mereka pada kemajuan sepak bola nasional. Bulan Ramadhan dengan puasa wajib didalamnya bisa menjamin para pelakunya kaya akan pengalaman spiritual yang bermakna. Dengan demikian bahwa dengan mayoritas pegiat dan pelaku didunia sepak bola adalah muslim maka tak salah rasanya apabila kita merangkai harapan bahwa puasa Ramadhan bisa menjadi sebuah momen perubahan dan tentunya pembenahan bagi insan dan organisasi sepak bola nasional. Jadi libur kompetisi yang ditetapkan PSSI mestinya tak sekedar untuk menghormati ritus puasa Ramadhan yang ujungnya tak membekaskan jejak hikmah sama sekali. Kondisi fisik terbaik untuk mencapai puncak permainan (peak performance) bisa dengan relative mudah dipulihkan kembali, akan tetapi mengobati penyakit hati dan membenahi moralitas rendahan punggawa PSSI adalah perjuangan tanpa batas waktu.

Banyak kekhawatiran yang patut untuk dilontarkan. Apakah pemain setelah puasa Ramadhan kemudian memiliki kesadaran bahwa pemain lawan haruslah dipandang sebagai sesama professional yang mengandalkan ketrampilan mengolah bola di lapangan hijau demi tujuan kesejahteraan keluarga. Dengan demikian niat untuk mengasari dan mencederai lawan, dengan sengaja atau bahkan dengan suatu rencana, tak lagi tersirat dalam hati dan pikiran para pemain. Sepak bola sebagai olahraga yang mengedepankan fisik memang meniscayakan terjadinya benturan, namun tidak menolerir adanya niat jahat atau ajang untuk melukai lawan. Terjadinya cidera pada pemain haruslah menjadi konsekuensi dari sebuah perjuangan para pemain yang mendamba kemenangan.

Apakah sesudahnya bulan penuh berkah ini berakhir, para pengurus kemudian memiliki kesanggupan untuk mengambil hikmah lalu tercerahkan untuk berpikir dan bertindak objektif mengabdikan diri demi memajukan sepak bola nasional dengan menepikan niat-niat menguntungkan pribadi atau kelompok. Tidak menghamba pada kekuasaan yang menyimpang dan tidak aspiratif. Sehingga sembuhlah mereka dari penyakit tamak dan rakus kekuasaan.

Dan apakah suporter kemudian mau untuk berbesar hati untuk mengerti dan memahami bahwa aktivitas mendukung klub-klub kesayangan sebagai sebuah kompetisi yang sehat tanpa disertai ritual kekerasan pada suporter tim lawan dan perilaku mengganggu kepentingan publik lainnya. Mendukung tim kesayangan idealnya adalah tindakan sukarela yang didasari cinta yang tulus sehingga prakteknya di lapangan suporter enggan untuk merugikan tim yang didukung dengan aksi bonekisme.

Seandainya sekolah ruhani yang dianugerahkan Allah ini tak mempan mengasah nurani kita juga para pelaku dan pegiat sepak bola di Indonesia akan nilai kebenaran, rasanya peringatan sangat keras dan revolusi total adalah obat bagi mereka yang telah membutatulikan hatinya. Atau masih adakah cara lain untuk mereka si hati bebal?
Oleh: Aji Wibowo

Gapura baru, lampu warna-warni, mural dan graffiti bertema perjuangan, panji-panji serta atribut lain yang serba merah putih. Sepak bola tarkam, balap karung, panjat pinang, gerak jalan, karnaval juga seabrek kegiatan lainnya. Meriah dan semarak, itulah yang sedang terjadi di berbagai sudut kota dan desa di negeri ini sepanjang bulan Agustus ini. Lingkungan pun menjadi jauh lebih bersih, lebih rapi dan lebih berwarna. Sedangkan masyarakatnya menjadi jauh lebih antusias, baik dengan berperan dalam kegiatan atau hanya untuk menikmati tontonan.

Semua yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dimaksudkan untuk memperingati dan merayakan (lagi) hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus setiap tahunnya. Meski banyak dari mereka tak mengenal apalagi menginsyafi apa makna kemerdekaan, setidaknya peringatan hari Kemerdekaan yang dirayakan itu memberi masyarakat Indonesia sebuah momentum sekaligus kesempatan untuk membenahi lingkungan tempat tinggalnya dan tentunya semangat solidaritas serta komitmen sosialnya.

Dalam suasana Independence Day, setiap orang di negeri ini berhak untuk merasa sudah merdeka dan berhak juga untuk merasa belum merdeka. Dan masing-masing dari mereka yang merasa merdeka pun boleh memiliki definisi dan versi yang berbeda-beda tentang kemerdekaan. Tetapi disini boleh kita sepakati bahwa definisi kemerdekaan yang diperingati oleh bangsa ini adalah bebasnya dari jerat kolonialisme bentuk lama atau penjajahan fisik bangsa asing.

Setelah 62 tahun bangsa ini merdeka, pada kenyataannya belum mencapai kondisi ideal bangsa yang “merdeka”. Yang justru terjadi (dan diakui sendiri oleh Presiden) adalah korupsi makin kalap, hukum dan demokrasi tak kunjung tegak, jumlah rakyat miskin dan pengangguran justru terus bertambah, rapuhnya perekonomian nasional, hutang luar negeri yang masih menumpuk dan rentannya stabilitas politik serta keamanan. Jadi, kemerdekaan yang dicapai bangsa ini tidak selalu berbanding lurus, asosiatif dan indikatif dengan yang namanya kedaulatan, keamanan, keadilan sosial, kemakmuran dan kebebasan itu sendiri.

Kemerdekaan pernah menjadi ujung atau garis finish dari perjuangan seluruh bangsa ini. Namun jika hingga detik ini pemikiran itu terus menerus menjadi pegangan rakyat Indonesia, maka kemerdekaan hanya akan menjadi mitos yang membelenggu. Nikmat kemerdekaan itu harus disyukuri dengan cara yang baik. Tidak hanya dengan ucapan dan ungkapan tetapi juga disertai dengan ikhtiar mengisi kemerdekaan. Maka kemerdekaan harus menjadi awal perjuangan dan modal untuk mewujudkan segala hal ideal yang diidam-idamkan tersebut.

Dengan demikian, tentu saja hari kemerdekaan bangsa kita ini tak cukup diperingati hanya dengan upacara-upacara, pidato atau sambutan dan berbagi kegembiraan dalam berbagai bentuk kegiatan oleh rakyatnya. Dengan budaya pesta dan hura-hura kemenangan yang lebih mengemuka daripada upaya untuk menyerap kembali pesan dan pelajaran moral kemerdekaan. Tanpa retrospeksi dan refleksi, peringatan hari kemerdekaan itu akan bernasib sama dengan banyak hari besar lain yang sekedar seremoni tanpa inspirasi.

Suporter Mawas Diri
Terkait dengan pesan retrospeksi dan refleksi juga disertai dengan introspeksi, dunia sepak bola kita amat layak untuk mengikutinya. Terutama akhir-akhir ini, saat anarkisme dan skandal di sepak bola nasional kembali merebak. Suporter “melemparkan” kemarahannya ke lapangan, pemain menjadi mudah kehilangan akal sehatnya, dan para pengurus yang tak mampu untuk menolong situasi menjadi lebih baik.Pihak-pihak tersebut terseret oleh semakin kerasnya iklim kompetisi aneh bin ajaib negeri ini yang memaksa pelakunya tereduksi rasionalitasnya dan dikalahkan oleh egoisme.

Anarkisme suporter yang kembali meletup di beberapa tempat, ironisnya terjadi tak begitu lama setelah suporter Indonesia menuai sanjung dan puji berkat antusiasme aksi dan atraksi di AFC Asian Cup 2007. Setiap opini bahwa kekerasan suporter akan dengan segera menjadi barang langka di sepak bola Indonesia, akhirnya perlu dikoreksi. Pernyataan yang terlalu dini tentang dunia suporter sepak bola nasional yang mulai menjadi tertib, atraktif dan kreatif, bisa meninabobokan masyarakat sepak bola nasional. Seperti halnya mitos kemerdekaan yang membelenggu rakyat Indonesia.

Budaya introspeksi, retrospeksi dan refleksi dalam menyikapi suatu peristiwa dan peringatannya, menyadarkan kita untuk menilik kembali kekurangan yang dimiliki dan menyerap makna dari suatu peristiwa itu untuk selanjutnya merangkai harapan yang lebih baik. Masih banyaknya keributan yang timbul sebaiknya dipandang sebagai belum tuntasnya kampanye suporter sportif kreatif. Virus suporter tertib itu bisa jadi hanya mengenai suporter pada tingkat atau level tertentu, belum sepenuhnya menjangkiti pada suporter akar rumput (grass root) yang juga masih disibukkan dengan berbagai permasalahan hidupnya sehari-hari.

Terus menerus memperbaiki kekurangan yang dimiliki dan meningkatkan kualitas diri adalah sebuah tugas besar. Menjadi suporter tertib saja belumlah cukup. Untuk membuat sepak bola negeri ini lebih baik butuh lebih banyak lagi suporter yang kritis terhadap setiap penyelewengan dan penyimpangan oleh insan sepak bola baik di dalam tubuh PSSI maupun di luar otoritas tertinggi sepak bola tersebut. Ujung perjuangan masih jauh, namun dengan kerja keras dan (tentunya) menyerap semangat kemerdekaan, mimpi itu akan segera mewujud.
Oleh: Aji Wibowo

Kemeriahan AFC Asian Cup 2007 yang disertai penampilan gigih nan cemerlang tim nasional Indonesia telah merebut perhatian sebagian besar masyarakat dari urusan kehidupan lainnya. Antusiasme pecinta sepakbola tanah air yang luar biasa untuk menonton dan menjadi suporter bagi perjuangan tim Garuda serta pemberitaan yang massif dari media massa menjadi bukti sahihnya. Tak ketinggalan suporter dan penonton di daerah yang setia mengirim doa dan mengambil inisiatif nonton bareng (public viewing) di lingkungannya. Banyak kalangan memandang bahwa telah muncul suatu bentuk nasionalisme baru. Masyarakat disatukan dalam sebuah identitas sebagai suporter tim nasional yang bertarung demi nama bangsa dan negara dalam event sepakbola terbesar di Asia. Sebuah kesempatan yang cukup langka dimana national anthem Indonesia Raya dinyanyikan begitu tulus dan penuh semangat. Jadilah sebentuk hawa segar yang mengusir aroma separatism yang sempat muncul dalam beberapa kesempatan.

Namun euphoria pesta kemenangan dan resah sedih kekalahan tim nasional Indonesia selama AFC Asian Cup 2007 cukuplah sejenak saja meninabobokan kita dari fakta tentang masih banyaknya persoalan yang menghinggapi sepakbola nasional. Seusainya hajatan itu hendaknya segala hutang masalah-masalah itu harus coba dituntaskan. Seluruh pemain telah mengupayakan segenap daya hingga muncul performa overachiever yang membuat seluruh pecinta tim nasional di pelosok negeri bangga. Sekarang waktunya kita untuk bertindak layaknya suporter sejati yang tak hanya memberi dukungan di lapangan tetapi juga sepanjang waktu mencurahkan perhatiannya, menemukan masalah, mengkritisi, dan menyumbang saran. Dan juga senantiasa menjaga kesadaran dan sikap kritis sebagai suporter sejati dalam rangka membangun sepakbola nasional.

Tulisan ini (kembali) bermula dengan warta buruk dari dunia sepakbola nasional. Bukan hal yang aneh sebab tema yang membuat hati prihatin itulah yang lebih sering menyapa kita. Setiap kegagalan tim nasional di berbagai event berganti giliran dengan kabar kekerasan oleh suporter, perilaku nakal dari beberapa pemain dan official yang mencederai spirit fair play. Tak hanya itu, oknum pengurus pun banyak yang melacurkan diri dengan menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi. Jadi sepakbola nasional tak ubahnya seperti kanal bagi watak kriminal dari para pelakunya.

Beberapa waktu yang lalu, selagi bersiap dan menyambut gelaran AFC Asian Cup 2007 di rumah sendiri, masyarakat sepakbola disuguhi geger suap yang melibatkan official Penajam Medan Jaya (merger Penajam Putra Kalsel & Medan Jaya) dengan oknum pengurus PSSI. Skandal dengan transaksi ratusan juta rupiah ini merupakan upaya pihak klub untuk membeli keputusan dari pengurus PSSI. Protes PSP Padang yang keberatan dengan keputusan PSSI yang mengijinkan Penajam Medan Jaya (PMJ) ikut kompetisi Divisi Satu 2007, karena pernah tersangkut kasus walk out saat melawan PS Tembilan, menjadi awal semua inisiatif jahat itu. Terancam gagal berkompetisi, PMJ kemudian mencoba melobi Komisi Disiplin yang ditugaskan Ketua Umum PSSI untuk menuntaskan masalah tersebut. Jadilah tawar menawar biaya keputusan untuk menyelamatkan PMJ. Meski sudah menyetor uang sebesar Rp100 juta namun pada akhirnya Komdis tetap mengeluarkan Surat Keputusan (SK) bertanggal 29 Mei 2007 yang isinya mendiskualifikasi, mendegradasi ke divisi dua, dan mendenda sebesar Rp50 juta pada Penajam Medan Jaya.

Meski terdapat rentang waktu yang lama dari heboh mafia wasit, toh skandal semacam ini bukannya tak sering terjadi di sepakbola tanah air.Layaknya fenomena gunung es, semua kisah yang dipaparkan oleh media massa hanyalah puncak dari sekian banyak ulah cela lain yang tertutupi. Banyak pihak yang tahu rahasia yang sudah jadi umum itu namun coba menutup mata. Menurut cerita dari beberapa kawan, yang anggota keluarganya menjadi pengurus klub dan wasit untuk PSSI, perihal suap dan kolusi merupakan kebiasaan yang dilestarikan secara konsisten dari waktu ke waktu yang berganti hanya pelakunya saja.

Berikut adalah beberapa kasus suap yang pernah terjadi di lingkungan PSSI dan sepakbola Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi kasus suap dengan tema tawaran lolos ke babak 12 Besar Liga Indonesia. Djafar Umar yang menjabat Ketua Komisi Wasit PSSI pada saat itu beserta sepuluh wasit lainnya yang terbukti terlibat, menawarkan jasa mengatur hasil pertandingan pada klub peserta Liga Indonesia. Selang enam tahun kemudian, giliran Jimmy Napitupulu, wasit FIFA Indonesia, yang ditawari suap oleh pengurus Persebaya Surabaya agar ”menyelamatkan” enam pemainnya yang rawan akumulasi kartu pada pertandingan melawan Persib Bandung.

Perihal suap, rekayasa hasil dan berbagai skandal memalukan lainnya tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di belahan dunia lain termasuk negara yang memiliki tradisi prestasi kelas dunia seperti Inggris, Prancis, Italia dan Jerman. Begitu juga dengan negara tetangga di region Asia Tenggara, yang kebetulan bersama Indonesia dan Thailand menjadi tuan rumah bersama AFC Asian Cup 2007, yaitu Malaysia dan Vietnam. Namun berbagai skandal di negara lain bukan menjadi pemakluman tumbuh kembangnya skandal serupa di Indonesia, justru menjadi cermin sekaligus pelajaran dalam banyak hal.

Berikut adalah beberapa sampel skandal besar di dunia sepakbola. Sepakbola Inggris telah mengalami banyak skandal yaitu tahun 1905 suap dengan pelaku pemain Manchester City, Billy Meredith. Pada tahun 1915 tujuh orang pemain Manchester United dan Liverpool dihukum FA karena terbukti mengatur skor 2-0 yang pada waktu itu banyak dipilih petaruh. Lalu tahun 1962 trio pemain Sheffield Wednesday dipenjara 6 bulan dan diskorsing 10 tahun juga karena pengaturan skor. Kejadian heboh juga terjadi di Prancis pada tahun 1993. Pemilik Olympique de Marseille, Bernard Tapie, menyuap para pemain Valenciennes supaya mengalah. Saksi dan bukti akhirnya menyeret Tapie masuk bui dan gelar Liga Prancis pun ikut dicopot.

Di Italia pernah muncul skandal totonero (pengaturan skor untuk taruhan legal) musim 1979/1980 yang menyebabkan AC Milan dan Lazio turun ke Serie B serta beberapa pemain dari klub-klub lain, salah satunya Paolo Rossi, diskorsing dua tahun. Lalu calciopoli yang terjadi musim 2004/2005 & 2005/2006, kali ini Juventus yang harus kehilangan scudetto dan merasakan kompetisi Serie B untuk pertama kalinya. Akibat calciopoli atau Moggigate, beberapa klub lain memulai Serie A dengan pengurangan poin. Sedangkan di Jerman pada tahun 1971 terjadi kasus rekayasa hasil sekitar 50 pertandingan Bundesliga yang melibatkan lebih dari 50 pemain, pelatih dan official klub. Juga skandal Robert Hoyzer pada tahun 2004, seorang wasit yang merekayasa beberapa pertandingan di Piala Jerman. Hoyzer case ini berhubungan dengan bursa taruhan yang dicukongi mafia Kroasia.

Paolo Rossi, from zero to hero

Kuasa, Korupsi dan Ironi Kompetisi
Berbagai skandal itu setidaknya selalu melibatkan pemain, official klub, wasit, bandar judi atau mafia, dan pengurus otoritas sepakbola. Dalam setiap skandal yang terjadi, tampak sebuah perselingkuhan yang intim antara kekuasaan dan uang. Hal ini bisa bermula dari keinginan untuk menang yang kebablasan dan atau mencari keuntungan pribadi. Demi kemenangan segala upaya coba diupayakan termasuk jalan pintas yang haram untuk dilakukan.Motivasi ini kemudian berpadu dengan watak oportunis pemilik modal dan kekuasaan yang senantiasa menanti untung.

Seperti dalam wasiat sejarawan Inggris John Emerich Edward Dalberg-Acton atau yang lebih dikenal dengan Lord Acton, (10 Januari 1834 – 19 Juni 1902 “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Sindrom lupa diri bisa menghinggapi siapa saja ketika seseorang sedang memegang kekuasaan baik level atas maupun bawah. Ada dorongan dan godaan yang amat besar untuk menyelewengkan wewenang dan kekuasaan ketika seseorang menjadi penguasa. Kehidupan bangsa ini banyak memberi gambaran dan contoh nyata tentang seleweng wewenang dan kuasa. Dari sistem yang berpihak pada penguasa, birokrasi berbelit, aparat yang mengutip uang, pejabat dan pengusaha saling suap, partai politik yang senantiasa menanti upeti dan berbagai anomali lainnya.

Kuasa dan wewenang, dua ”jimat” inilah yang juga coba dimanfaatkan oleh oknum pengurus PSSI untuk menambah kekayaan pribadi. Jabatan yang strategis dan payung hukum dengan tafsir abu-abu merupakan piranti yang memudahkan oknum pengurus untuk meninggikan posisi tawar mereka. Peluang dan kesempatan itu kemudian menganga lebar ketika mereka bertemu dengan pengurus-pengurus klub yang menginginkan kemenangan dan atau mencari selamat, pemain yang terancam hukuman atau skorsing, klub atau kota yang ingin menjadi tuan rumah event sepakbola serta pemain asing yang butuh legalitas. Semua peluang itu berpotensi memunculkan selingkuh yang setara dengan polah pejabat dan pengusaha yang saling sogok. Oknum pengurus adalah representasi dari sosok pejabat, sedangkan insan sepakbola yang oportunis adalah pengusaha disisi yang lain.

Perilaku penyuapan (bribery) oleh pengurus klub Penajam Medan Jaya pada oknum pengurus PSSI merupakan upaya ”mencari selamat" dari sebuah klub yang terancam...Tak tertutup kemungkinan klub-klub yang lain, melalui pengurusnya, melakukan penyuapan berlambarkan alasan atau motivasi lain yang berbeda tergantung pada kebutuhan klub tersebut. Apapun motif dan alasannya yang mendasarinya, praktek penyuapan oleh klub yang berpadu dengan penyalahgunaan wewenang oleh oknum pengurus PSSI merupakan tindakan korupsi dan kolusi. Kejahatan yang masuk kategori extraordinary crime karena akibat yang ditimbulkan luar biasa merusak.

Ada banyak ragam perspektif untuk mendefinisikan korupsi. Menukil dari Situs Wikipedia, istilah korupsi diambil dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang maknanya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Sedangkan Transparency International memberi definisi pada korupsi yaitu perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi yang dilakukan oknum pengurus PSSI adalah menyelewengkan suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Sedangkan selingkuh antara pengurus klub dan oknum pengurus PSSI merupakan kolusi. Yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji; persekongkolan. Penyalahgunaan wewenang, kolusi, dan korupsi yang terjadi menunjukkan adanya penyakit bereaumania di lingkungan PSSI.

Dunia sepakbola nasional memang masih mengenal konsep tuan rumah (harus) selalu menang. Keuntungan sebagai tuan rumah menyebabkan peluang suatu klub untuk memenangkan pertandingan menjadi lebih besar. Beberapa faktor pendukung diantaranya yaitu pengenalan lapangan yang lebih baik dan adanya dukungan dari suporter sebagai pemain keduabelas. Dengan adanya konsep ini, kolusi antara pihak klub dan oknum pengurus PSSI justru potensial dilakukan. Vitalnya peran wasit menjadi titik awal sebuah transaksi kotor itu. Wasit nakal bisa memakai kekuasaannya di lapangan untuk memenangkan pihak atau klub yang ”menyejahterakannya”, seperti menghadiahi penalti atau memberi hukuman pelanggaran yang tidak wajar. Otoritas yang membawahi dan berwenang menunjuk wasit, umumnya berperan sebagai agen bagi wasit-wasit nakal itu.

Efek langsung dari praktek suap, penyalahgunaan wewenang dan korupsi di tubuh PSSI adalah kompetisi biaya tinggi. Anggaran kompetisi suatu klub yang selama ini sudah begitu terbebani oleh menggelembungnya harga kontrak dan gaji pemain asing serta lokal, akan semakin berat dengan adanya “biaya tambahan”. Semua biaya besar itu tak melulu habis untuk kebutuhan wajar dari suatu kompetisi tapi terdapat juga biaya siluman yang lain berupa ”menjamu dan menyejahterakan” wasit, transaksi "promosi dan degradasi " antara pengurus PSSI dan official klub, legalisasi dan akreditisasi pemain, serta tawar menawar sanksi. Pahitnya hampir semua ongkos transaksi hitam itu dibiayai dari APBD alias uang rakyat.

Polah suap menyuap yang dilakukan pihak klub dengan otoritas sepakbola ini merusak idealisme sebuah kompetisi. Menjadi hal yang ironis dan tak masuk akal karena sebuah kompetisi sepakbola seharusnya menyuburkan watak fair play dan semangat sportifitas bagi para pelakunya. Kemenangan mestinya milik mereka yang sebenar-benarnya memiliki kemampuan dan kemauan yang lebih untuk mencapainya. Mereka yang berbekal skill dan teknik mumpuni disertai daya juang yang tinggi dari individu-individu yang bermain sebagai sebuah tim. Dengan demikian prestasi yang muncul dari sebuah kompetisi adalah perjuangan diatas lapangan bukan karena kekuatan finansial dan kemauan menang yang digunakan dengan cara yang salah dari pengurus klub. Singkat kata, korupsi dan kolusi di lingkungan PSSI dan klub menghambat prestasi sepakbola nasional.

Menangkap Tikus: Belajar dari Tetangga
“Bagi bangsa kita korupsi sudah menjadi budaya.”
Muhammad Hatta (12 Agustus 1902 - 14 Maret 1980, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia)


Jelas bukan perkara gampang untuk memberangus korupsi dan kolusi yang telah berakar kemana-mana. Begitu membudayanya korupsi sehingga menyebabkan rasa pesimisme yang kental dari masyarakat. Seakan-akan sudah tertutup segala jalan untuk diperbaiki. Alih-alih memberantas yang terjadi justru ikut menambah jamaah koruptor. Dan akhirnya korupsi pun menjadi hal lumrah dan melakukannya tanpa malu, bahkan untuk sekedar pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Dalam hal ini maka Indonesia disebut telah sampai pada fase kleptokrasi, yaitu pemerintahan oleh para pencuri.

Tak perlu terkejut mendapati kenyataan bahwa hanya upaya sekedarnya yang dilakukan PSSI untuk menyelesaikan masalah ini. Ketua Umum PSSI yang memiliki pengetahuan sebagai seorang koruptor, berdasarkan bukti empiris tentunya, lebih paham bagaimana melindungi para pelaku dibanding mengungkap kejahatan mereka dan memberi sanksi ”kartu merah” yang berprospek memutus budaya korup. Dan sesuatu yang lazim pula apabila si peniup isu (whistleblower), dalam kasus ini sekaligus sebagai pelaku, justru yang kena getahnya. Fenomena demikian menandai adanya hambatan dan prospek kegagalan yang besar dari tubuh PSSI sendiri untuk memberantas berbagai praktek korupsi dan kolusi di sepakbola nasional. Selagi masih berkuasanya rezim kleptokrasi di tubuh PSSI, maka berbagai upaya yang dilakukan layaknya membentur tembok tebal.

Beberapa waktu yang lalu seorang teman wartawan sebuah tabloid olahraga bertiras besar yang selama ini telah dikenal sebagai promotor suporter sportif kreatif dan pemerhati sepakbola nasional yang kritis, memberikan opininya dalam sebuah kolom. Dalam kolom itu, beliau mengajukan harapan munculnya karakter Semar, yang digambarkan sebagai wayang yang bijaksana, dari Ketua Umum PSSI kita. Lalu timbul pertanyaan akibat tulisan itu, masih relevankah (sekedar) berharap dan berdoa hal baik akan dilakukan sang ketua demi sepakbola nasional? Maukah Nurdin Halid berjiwa besar meniru apa yang Franco Carraro lakukan demi calcio Italia?

Semar, spiritual advisor and magical supporter of the royalty

Relevan atau tidak relevan terkait sulitnya hal itu terwujud, namun setidaknya bisa ditarik benang merah yang sama bahwa ketua atau pemimpin memiliki peran sangat penting dalam hal ini. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa faktor kekuasaan yang menjadi penyebabnya dan sekaligus perubahan harus dimulai dari pemimpinnya. Mengikuti konsep tersebut maka pemberantasan korupsi dan kolusi di PSSI harus dimulai dari akarnya, yaitu kelompok yang memerintah dan penanggulangannya harus pula dengan melibatkan seluruh kelompok tersebut. Apesnya, mungkinkah akan ada upaya perubahan apabila pemimpinnya adalah bagian dari status quo? PSSI sangat memerlukan kepemimpinan yang kuat tetapi sekaligus harus bersih. Hakekatnya apabila menghendaki prestasi bagus dari Tim Nasional, industri sepakbola yang kompetitif maka organisasi yang sehat dengan pengurus-pengurus yang bersih dan profesional adalah paket yang harus disertakan. Untuk mengganti bukanlah perkara mudah. Menjadi Ketua Umum PSSI untuk periode yang kedua nyaris tanpa ada lawan, selain baru diawal tugas tentunya, menyebabkan kuatnya posisi Nurdin Halid untuk didongkel. Selain itu, para pengurus sudah semakin kompak untuk membentengi sang ketua.

Beberapa negara yang dilanda skandal sejenis, senantiasa melibatkan aparat hukum dalam penuntasannya karena masalah suap termasuk dalam kategori perbuatan kriminal. Vietnam telah memberikan contoh bahwa suap yang dilakukan oleh insan sepakbola juga diselesaikan lewat jalur hukum. Atau Italia dengan calciopoli-nya melakukan penyelidikan serius yang melibatkan unsur-unsur penting yang dimiliki oleh negara tersebut. Deutsche Fussball Bund (DFB), federasi sepakbola Jerman, pun mengajukan Robert Hoyzer ke meja hijau setelah menghadiahi sanksi skorsing. Bahkan baru-baru ini, FBI (Federal Bureau of Investigation) dilibatkan untuk mengungkap dugaan adanya suap di kompetisi NBA yang ditahbiskan sebagai kompetisi bola basket terbaik sejagat. PSSI melalui ketua umumnya seharusnya tidak bisa berdalih lagi bahwa ini dalam wilayah PSSI. Tak perlu mengisolasi skandal dan menyembunyikan kasus itu dari upaya penyelidikan hukum.

Sekali lagi, upaya menuntaskan setiap masalah, termasuk didalamnya suap dan kolusi, adalah sebuah jalan dan perjuangan panjang. Saat ini penting untuk terus menjalin kesepahaman antar insan suporter dan pegiat sepakbola yang memiliki itikad baik dan kepedulian besar membangun sepakbola nasional. Disini patut berharap pada munculnya intelektual sepakbola yaitu pegiat sepakbola yang lurus juga tulus, wartawan yang kritis dan solutif, suporter yang dapat menjadi bagian dari "watchdog" yang lebih galak. Intelektual sepakbola ini nantinya harus menjadi kaum pelopor (vanguard) bagi setiap gerakan moral yang muncul apabila terdapat penyimpangan dalam dunia sepakbola nasional

Class action yang dipelopori Danang Ismartani dan alumni UI, teman-teman suporter juga seruan suci dari Solo yang dipelopori Mayor Haristanto sejujurnya masih teramat sedikit. Di masa depan diperlukan lebih banyak elemen suporter dan intelektual sepakbola yang meneriakkan perubahan. Kembali mengingatkan pentingnya peran kaum intelektual yang bercokol di kelompok-kelompok suporter. Bahwa mereka jangan sampai terkungkung dengan fanatisme pada klub dukungannya tapi juga harus peduli dengan kepentingan lebih besar yaitu nasib sepakbola nasional.

And how can we win
When fools can be kings
Don't waste your time
Or time will waste you

No one's gonna take me alive
The time has come to make things right
You and I must fight for our rights
You and I must fight to survive

(Muse - Knights Of Cydonia)
Oleh: Aji Wibowo

Perhelatan AFC Asian Cup 2007 tinggal menghitung hari. Berkaca pada event-event serupa yang diselenggarakan di negara-negara lain, hajatan tersebut jelas memiliki potensi untuk membawa kemaslahatan bagi banyak pihak. Masyarakat mendapatkan dua kesempatan sekaligus, hiburan dan peluang kerja serta usaha. Pemerintah pun menjadi pihak yang disenangkan dengan bergairahnya sektor ekonomi setidaknya dalam satu bulan ke depan. Bayangan keuntungan yang akan direguk, empat negara tuan rumah, dari berbagai sektor segera mewujud. Mulai dari jasa transportasi, food & beverage, penginapan, tempat hiburan, pedagang souvenir hingga terwadahinya sebagian besar penduduk sebagai tenaga kerja paruh waktu.

Euphoria tersebut membawa pikiran ini berkelana pada kenangan lima tahun yang lalu, persis menjelang 2002 FIFA World Cup™ Korea-Jepang. Saat masih berstatus mahasiswa dan menjadi tahu kegairahan yang terjadi pada teman-teman mahasiswa menjelang sebuah event besar sepak bola. Mahasiswa seperti halnya masyarakat yang lain, mencoba ikut menikmati hiburan dan peluang mendapat keuntungan secara finansial dari suatu event. Apakah sekedar ikut meramaikan suasana di lingkungan mereka atau sebagai aktor yang ikut memberi kontribusi langsung yang signifikan pada penyelenggaraan. Bergabung dengan kelompok suporter untuk mendukung tim Merah Putih atau bergabung menjadi sukarelawan membantu kelancaran penyelenggaraan.

Diluar kontribusi yang sifatnya temporer tersebut, mahasiswa idealnya bisa berpartisipasi secara terus-menerus dan aktif bagi sepakbola nasional. Bulaksumur Pos edisi 54 (Selasa, 28 Mei 2002) menjadi monumen atas kegundahan mengenai bagaimana sebaiknya peran dan posisi mahasiswa dalam pembangunan sepakbola dan olahraga nasional.

Mengapa harus melibatkan mahasiswa? Daniel Singer (1926-2000), author Prelude to Revolution: France in May 1968 (Hill & Wang, 1970) memberi jawaban dengan Singer Model-nya. “Students and intellectuals acted first”. Mahasiswa dan kaum intelektual dipahami sebagai kekuatan sosial yang independen dan otonom. Mahasiswa senantiasa mengambil tindakan pertama dalam mengawali banyak peristiwa besar dunia seperti Revolusi Rusia 1905, Revolusi Prancis Mei 1968, Reformasi Indonesia Mei 1998 dan lain-lain. Dalam tindakannya mengawali suatu perubahan tidak dengan mengarahkan atau mengorganisir para pekerja, kaum buruh atau kelas masyarakat yang lain melainkan sekedar mengekspresikan kebutuhan, kesadaran dan impian mereka sendiri. Maka mahasiswa dipandang mewakili suatu kelas dalam masyarakat yang memiliki idealisme murni, dengan dedikasi dan komitmen pada nilai-nilai kebenaran.

'The May 1968 student riots in Paris' Corbis Images

Baru-baru ini skandal suap, melibatkan beberapa pengurus klub Penajam Medan Jaya dan pengurus PSSI, menyita perhatian dan mengalahkan promosi AFC Asian Cup. Perbuatan kriminil ini bukanlah hal baru melainkan kebiasaan usang yang dijalankan oleh aktor yang berbeda. Pecinta sejati dan masyarakat sepakbola nasional, termasuk didalamnya adalah mahasiswa, mestilah terpanggil dan bersikap. Realitasnya dunia sepakbola tanah air memiliki begitu banyak mahasiswa yang menggemari sepakbola dan menjamurnya kelompok suporter di lingkungan kampus. Kita patut berharap bahwa sedikit dari mereka berkenan untuk memiliki insiatif dan bahu-membahu bersama masyarakat peduli sepakbola nasional untuk meluruskan dan membersihkan lingkungan sepakbola nasional dan khususnya rumah PSSI yang “kotor”.

Berikut ini adalah celetuk yang (menurut saya pribadi) disajikan dengan bahasa yang polos, dihantarkan dengan kurang runtut, dan referensi yang minim. Namun setidaknya pesan tersebut cukup jelas dan (masih) relevan, semoga. Tulisan ini juga sempat mendapat sentuhan dari sahabat Didik Darmanto sebagai editor.
***

Piala Dunia dan Mahasiswa


“The love of soccer now is a universal language and bind us all together”
Sambutan Bill Clinton pada Piala Dunia USA ’94 ini menunjukkan betapa besar pengaruh sepakbola dalam kehidupan manusia. Sepak bola telah menjadi bahasa yang universal yang bisa menjadi alat perdamaian.

Di penghujung bulan Mei ini. Tepatnya 31 Mei hingga akhir Juni nanti. Dunia akan disuguhi aksi-aksi ajaib para bintang sepakbola dunia. Mereka akan bermain dalam sebuah perhelatan akbar yang bernama Piala Dunia. Sebuah event dunia yang kebesarannya melebihi Olimpiade dan event olah raga lainnya.

Adakah relasinya antara mahasiswa dengan Piala Dunia ini? Memang si jenius Zinedine Yazid Zidane, pemain dengan transfer termahal di planet bumi, bukanlah mahasiswa di Spanyol. Melainkan seorang pemain dari sebuah kaya di Eropa. Begitu juga dengan pemain beken lainnya seperti Totti, Figo, dan Vieri. Namun bukan berarti tidak ada sama sekali mahasiswa yang ikut berlaga di Korea-Jepang. Tim nasional Korea Selatan, salah satu tuan rumah yang ditunjuk FIFA, mempunyai beberapa pemain yang masih berstatus mahasiswa. Cha Doo-ri, anak pesepakbola legendaries Korea Selatan Cha Bum-keun, adalah mahasiswa di Universitas Korea. Begitu pula dengan rekannya Lee Chun-soo.

Lee Chun-soo: Another Korean Heroes

Dalam kejuaraan sepakbola empat tahunan yang pertama kalinya digelar di benua Asia ini juga banyak mahasiswa dari Korea dan Jepang yang menjadi tenaga sukarelawan. Mereka mengerjakan tugas-tugas vital seperti menjadi translator bahasa, official di press center, pengemudi dan banyak pekerjaan yang lain. Tanggung jawab sebagai mahasiswa membuat mereka mau mengerjakan itu semua. Bahkan tanpa dibayar.

Bagaimana dengan mahasiswa Indonesia, Negara yang menjadikan sepakbola sebagai olah raga rakyat. Apa saja yang dilakukannya?Jelas untuk saat ini mereka hanya menjadi penikmat saja. Menjadi pendukung salah satu tim yang berlaga adalah pilihannya. Karena Indonesia gagal berlaga dikancah dunia. Tak mengherankan jika bukan “hidup Indonesia“ yang mereka teriakkan, tetapi “forza Italia”, “viva Brazil” atau “allez France”. Selain itu, banyak mahasiswa yang karena piala dunia rela “menyisihkan” uang sakunya untuk dipertaruhkan selama perhelatan hebat itu. Mahasiswa rajin membolak-balik jadwal pertandingan. Mendiskusikannya dengan serius penuh analisis hitung-menghitung kekuatan tim yang bakal bertanding. Bahkan tak jarang memerlukan bantuan paranormal.

Tapi ada juga mahasiswa yang memanfaatkan momen piala dunia untuk membuat kegiatan yang lebih bermakna. Seperti acara pertandingan liga futsal, nonton bareng, dan kegiatan lain yang temanya tak jauh dari urusan si kulit bundar. Namun bagaimanapun juga kegiatan ini masih dipertanyakan sumbangannya untuk memajukan persepakbolaan kita. Karena sifatnya yang having fun dan dirasakan sesaat.

Idealnya mahasiswa bisa berbuat lebih dari sekedar itu. Dengan modal intelektualitas dan semangat bak kuda, mahasiswa bisa membuat kegiatan yang dapat membantu Indonesia berprestasi di bidang olahraga. Dan tentunya berkarya lebih nyata untuk memajukan dunia persepakbolaan Indonesia. Harus kita pikirkan bersama langkah apa saja yang dapat kita perbuat untuk memajukan prestasi sepakbola di tanah air. Apakah dengan membuat media kepelatihan , membantu langkah-langkah pembinaan pemain muda, memberi masukan pada otoritas berupa sebuah laporan penelitian atau lainnya yang bisa memberikan sumbangan berarti demi mengubah wajah persepakbolaan nasional.

Saat ini masih terjadi kesalahan persepsi di kalangan mahasiswa sendiri. Menurutnya mengharumkan bangsa dan negara sekedar melalui dunia politik, sosial, ekonomi. Sehingga mahasiswa meskipun mempunyai kecintaan yang mendalam pada sepakbola mereka lebih suka berjuang di bidang politik, ekonomi dan lainnya. Semestinya berjuang di bidang olahraga sama pentingnya dengan pilihan menjadi tehnokrat, birokrat ataupun pebisnis. Mahasiswa PBAD sebenarnya punya potensi cukup besar untuk memajukan dunia olahraga, khususnya sepakbola. Karena bermodal background olah raga dan spiritnya.

Kenyataannya mereka juga tak bisa berbuat banyak. Bahkan mereka ikut terjebak ke dalam pola study oriented. Namun hal ini bukan murni kesalahan mahasiswa. Seharusnya mereka diberi kesempatan mengembangkan karirnya di bidang olahraga, dengan dibantu dalam hal pelatihan dan pembinaan yang serius. Namun dari pihak perguruan tinggi sendiri kurang tanggap. Apalagi saat ini dunia sepak bola Indonesia belum bisa menjamin kesejahteraan hidup pemainnya. Tak mengherankan mahasiswa lebih memilih terjun ke dunia teknokrat maupun birokrat yang dipercaya bisa lebih menjamin masa depannya. Ternyata status mahasiswa belum tentu memberikan jaminan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih enak.

Untuk meniru apa yang dicapai Cha Doo-ri dan Lee Chun-soo pastilah sangat sulit dengan kondisi yang dialami Indonesia saat ini. Maka mahasiswa sebagai agent of change harus berupaya untuk itu. Mengubah sistem usang yang berpihak pada penguasa menjadi sistem yang memajukan bangsa ini secara keseluruhan. Diperlukan juga kerjasama dari seluruh komponen bangsa.
“Some people believe football is a matter of life and death; I am very disappointed with that attitude. I can assure you it is much, much more important than that."
Bill Shankly (1913-1981, One of the most successful and respected football manager)

Kalimat yang dilontarkan manajer legendaris The Kop alias Liverpool FC, merepresentasikan tentang karakter luar biasa yang dimiliki oleh para football devotee terutama kaum suporternya. Dalam dunia sepak bola terdapat keniscayaan akan adanya gejala fanatisme penonton dan suporter pada tim yang mereka dukung. Fanatisme ini merupakan fenomena dimana penggemar (fans) atau suporter mengidentifikasikan secara berlebihan (over-identify) pada klub yang mereka dukung. Para penggemar dan suporter ini memandang bahwa klub tersebut sebagai perluasan atau perpanjangan dari dirinya dan terlibat lebih dalam secara emosional pada tim tersebut.
Oleh : Aji Wibowo

Sabtu sore, 21 April 2007, kompetisi Liga Indonesia mempertemukan PSS Sleman dengan Persija Jakarta, sekaligus juga mempertemukan dua kelompok suporter kreatif atraktif Slemania dan Jakmania di stadion Maguwoharjo Sleman. Hadir sebagai tamu, Jakmania datang dalam jumlah yang besar dan hampir memenuhi tribun selatan. Dalam siraman air hujan yang deras, kedua kelompok suporter tersebut menunaikan tugasnya menyulut semangat bertanding masing-masing tim yang didukung. Pertandingan memang berakhir dengan skor 2–1 untuk kemenangan PSS Sleman namun kesan baik telah ditampilkan dan ditinggalkan oleh kedua kelompok suporter tersebut. Suasana pertandingan yang cukup panas tak ikut menyulut api permusuhan pada masing-masing pendukungnya. Yang menang berhak bergembira, yang kalah boleh kecewa tetapi sama sekali tak menghalangi kedua kelompok suporter itu merayakan pesta kemenangan semangat sportifitas dan persahabatan.

Beberapa hari sebelumnya, 19 April adalah peringatan hari lahir PSSI yang 77 tahun yang lalu didirikan oleh perwakilan 7 bond di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. Tak ada perayaan dan kado spesial berupa pencapaian prestasi hebat yang bisa diberikan oleh pengurus PSSI era Nurdin Halid dalam moment istimewa itu. Masing-masing sibuk dengan agenda Munas yang agendanya lebih pada mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan PSSI maupun sepak bola nasional itu sendiri. Seperti yang diprediksi banyak orang bahwa Munas akan menjadi ajang untuk memuluskan Nurdin Halid terpilih untuk kali yang kedua, terbukti sudah. Tak ada pesta demokrasi dalam moment tersebut dan tak ada pula konflik dan semangat kompetisi yang melatari proses pemilihan itu. Hal yang aneh sekali apalagi bagi otoritas sepakbola yang permainannya kerap menciptakan drama berkat konflik dan kompetisi didalamnya.

Nederland Indische Voetbal Unie (NIVU) di World Cup 1938, Prestasi tertinggi anak bangsa

Sepakbola adalah Konflik dan Kompetisi
Permainan sepakbola bersifat timbal balik, dengan sifatnya tersebut sepak bola jelas tidak bisa untuk dimainkan sendirian. Dalam praktiknya, sepakbola merupakan interaksi dua pihak yang saling melawan satu sama lain dalam suatu permainan untuk memperebutkan hadiah tertinggi yaitu kemenangan. Seperti sebuah dialektika, sintesa yang berupa kesempurnaan dan keindahan permainan sepak bola lahir dari pertentangan dua tim yang bertanding yang berbuah hasil yang kontras yaitu kemenangan di satu pihak dan kekalahan di pihak yang lain. Dalam sepakbola senantiasa menampilkan dua wajah yang kontradiktif sebagai suatu keniscayaan yang tak bisa dipungkiri. Suatu fenomena yang di dalamnya termuat elemen menang dan kalah, sportifitas dan culas, kegembiraan dan kekecewaan, sanjung puji dan caci maki, dan sebagainya.

Sepakbola adalah bentuk konflik dan kompetisi sekaligus. Sebagai bentuk konflik karena pada dasarnya sepakbola merupakan olahraga yang didalamnya terdapat upaya saling mengalahkan untuk memperoleh kemenangan. Sedangkan spirit kompetisi diwujudkan dengan adanya aturan-aturan permainan, yang dibuat oleh otoritas yang berwenang, guna menjamin keadilan dalam lapangan. Secara umum konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau lebih. Sehingga wujud konflik dan kompetisi direpresentasikan tidak hanya oleh dua puluh dua orang di lapangan yang terbagi dalam dua tim yang berbeda tetapi melibatkan official dan seluruh komponen tim serta pendukung atau suporter masing-masing.

Suporter sebagai bagian yang terlibat langsung dengan tim yang bertanding ikut terseret dalam situasi konflik tersebut. Suporter hadir di arena pertandingan dengan tujuan mendukung untuk menaikkan mental dan moral tim yang didukung sekaligus meneror mental tim lawan. Ketika dua kelompok suporter bertemu di arena pertandingan dengan tujuan yang sama namun berbeda tim yang didukung maka yang terjadi adalah pertentangan, perang yel-yel, saling ejek dan lain-lain. Konflik yang terjadi antar kelompok suporter jelas tidak bisa dipisahkan dari konflik dan kompetisi yang terjadi pada klub yang mereka dukung. Sebab suporter senantiasa mengidentifikasikan dirinya dengan tim yang mereka dukung.

Konflik antar suporter sebagai suatu keniscayaan, terjadi ketika mereka bertemu di arena dan mungkin saja masih berlanjut setelah pertandingan usai. Meski terdapat konflik tidak berarti hal tersebut bernilai negatif karena pada dasarnya konflik berbeda dengan kekerasan. Konflik tidak selalu dapat dilihat dengan kasat mata. Menurut Dr. A. Munir Mulkhan, dkk, dalam bukunya ”Kekerasan dan Konflik: Tantangan Bagi Demokrasi” (Forum LSM DIY, 2001) menjelaskan bahwa konflik bukan sekedar peristiwa atau “fakta” seperti tawuran, perang, revolusi sosial, demontrasi, aksi massa, dan lain-lain tetapi juga dimengerti sebagai sudut pandang, perspektif dalam melihat atau memandang peristiwa-peristiwa sosial.

Lewis Alfred Coser (1913-2003), Presiden ke-66 American Sociological Association sekaligus penulis buku The Functions of Social Conflict, menerangkan bahwa konflik merujuk pada suatu keadaan pertentangan antar dua atau lebih kelompok dengan identitas yang jelas. Pertentangan tersebut dapat berupa pertentangan kepentingan atas sumber daya, pengakuan atau gengsi dan tidak selalu disertai dengan kekerasan. Pada akhirnya semua mesti bisa memaklumi bahwa konflik merupakan suatu hal yang lumrah apalagi dalam dunia suporter sepakbola namun tidak perlu pemakluman alias toleransi untuk kekerasan. Meski faktanya kekerasan kerap kali singgah dalam hingar bingar dunia sepak bola namun secara filosofis, kekerasan tidak sejalan dengan semangat sportifitas sepak bola sebagai suatu bidang olahraga. Kekerasan menjadi musuh utama bagi pecinta dan suporter sejati sepak bola.

Suporter (sedang) Belajar, Belajar (pada) Suporter
Ada banyak persoalan yang dihadapi bangsa ini, terutama masih banyaknya fenomena kekerasan baik oleh massa atau individu. Namun dalam menyikapi berbagai persoalan itu kita bisa banyak belajar dari kelompok-kelompok suporter sepakbola di Indonesia. Ada memang beberapa kejadian kerusuhan yang melibatkan kelompok suporter sebagai bentuk kekerasan massa. Bahwa keributan dan kerusuhan itu membawa konsekuensi kerugian bagi masyarakat banyak masih sering terjadi namun dari waktu ke waktu frekuensi dan skala kerusuhan yang melibatkan suporter makin berkurang dan mengecil. Sepanjang waktu kelompok suporter berinteraksi dengan kelompok suporter yang lain, terdapat dinamika, dan mereka memetik pengalaman serta belajar menjadi lebih dewasa dalam segala hal.

Disaat terdapat fenomena institusi pendidikan yang diharapkan nantinya menghasilkan aparat pengayom masyarakat tetapi yang terjadi adalah pendidikan penuh kekerasan dan arogansi senior atas yuniornya yang mengakibatkan jatuh korban jiwa. Disisi yang lain kelompok suporter terus giat berbenah diri, berlaku tertib didalam dan diluar lapangan, terus menerus memupus kekerasan dan mengkampanyekan persahabatan antar kelompok suporter dan sikap menghormati sesama suporter. Ketika para pejabat, birokrat, dan wakil rakyat yang terhormat gagal mengemban amanat namun putus urat malunya hingga tetap bertahan bahkan ”bermain sirkus” dengan aksi tipu-tipu pada rakyat. Dilain pihak suporter masih bisa merasa malu ketika diteriaki ”ndeso” atau kampungan apabila perilaku mereka mengganggu pertandingan seperti melempar benda ke lapangan atau menerabas masuk stadion tanpa tiket. Bagi mereka, masuk dan menonton haruslah dengan membayar. Sehingga tak aneh apabila mereka kemudian bekerja keras dan berpikir kreatif untuk mendapatkan uang demi membeli tiket pertandingan. Melancong menemani timnya bertanding dikandang lawan hanya dengan transportasi dan akomodasi sekedarnya pun sanggup mereka jalani. Bukankah itu jauh lebih baik daripada mereka yang meminta berbagai fasilitas yang serba wah untuk kepentingan pribadi namun dengan memakai uang rakyat?

Disaat suhu pertandingan memanas mereka tetap berusaha berpikir jernih dan bertindak proporsional. Saat perekonomian mereka tak cukup baik menopang kehidupan sehari-hari mereka tetap menyalakan harapan dengan tetap berusaha membeli tiket pada setiap ritual menonton mereka. Kala perhatian otoritas tertinggi pada mereka jauh dari harapan, yang lebih sibuk dengan urusan memberi hukuman dan sanksi yang kerap salah sasaran dan tak benar-benar mendidik untuk lebih baik, para suporter itu tetap giat memperbaiki diri, memperkukuh semangat dan menjadi jauh lebih beradab pada setiap sikap hidupnya.

Semestinya kita tak perlu berkecil hati dan terus memupuk optimisme meski prestasi sepak bola nasional tak kunjung mekar, akibat salah urus dari pengurus yang berwatak oportunis, karena kita masih memiliki banyak sekali orang yang begitu mencintai sepakbola dan kehidupannya dalam wujud sebagai suporter. Kahlil Gibran (1883 - 1931), mewariskan kalimat indah"Segala kerja adalah hampa kecuali ada cinta”. Cinta adalah kekuatan terbesar yang menjadi modal yang berharga untuk membawa kehidupan sepakbola nasional juga kehidupan negeri ini menjadi lebih baik. Semangat dan cinta dari suporter selayaknya dijadikan obligasi moral bagi kita semua yang peduli pada persoalan sepakbola nasional yang macet maupun persoalan kehidupan berbangsa yang masih suram.

Penting untuk selalu mempertahankan sikap peduli, kerelaan dan kebersihan hati untuk memberi koreksi pada setiap bentuk penyimpangan dan kekeliruan disekitar kita. Peduli dan kritis adalah bentuk keimanan paling kuat yang harusnya dimiliki oleh tiap jiwa manusia. Mari terus belajar...
Football devotee: Tak mudah untuk dipahami (Photograph©2002 Andrew Kaufman)
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa salah satu dari “kegairahan besar” (the great passion) di abad dua puluh ini adalah dunia olahraga. Umberto Eco, author buku fenomenal Il nome della rosa, dalam bukunya yang bertitel Tamasya dalam Hiperealitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) berpandangan bahwa olahraga mengalami peristiwa diamplifikasi, tatkala olahraga yang mulanya sebuah permainan yang dimainkan oleh satu orang menjelma semacam diskuisisi dalam permainan. Olahraga berubah sebagai sebuah permainan yang dimainkan untuk ditonton orang lain. 
Oleh : Aji Wibowo


Buku terakhir yang saya baca adalah Kembali pada Cinta Kasihmu terbitan Lentera Dipantara. Sebuah novel pendek Count Leo Nikolaevich Tolstoy (1828-1910), pengarang religius dan sastrawan besar Rusia, yang dialihbahasakan oleh sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006). Berkisah tentang fluktuasi hubungan cinta kasih dalam sebuah perkawinan. Pada awalnya adalah cinta yang hangat menggebu yang kemudian perlahan redup karena tergodanya sang wanita pada gemerlap dunia untuk akhirnya dia tercerahkan kembali pada cinta kasih suaminya. Bagi saya buku tersebut memiliki relevansi yang cukup dengan apa yang saya alami tetapi bukan pada kehidupan cinta kasih melainkan pada pasang surut semangat untuk menulis. Setelah lama vacuum dan sibuk dengan urusan remeh temeh yang menggoyahkan, akhirnya senang rasanya bisa mendapatkan kembali ruh semangat dan kesempatan melontarkan uneg-uneg pada sebuah dunia yang telah menjadi semacam oksigen untuk bernafas, yaitu dunia sepak bola dengan segala dinamika didalamnya.

Keinginan untuk ikut ”memikirkan” kembali sepak bola, khususnya nasional beserta kehidupan suporternya, bisa disebut sebuah keajaiban. Betapa tidak, setelah menuntaskan lelaku akademik, terbersit niat untuk semakin giat ikut meramaikan lalu lintas opini dan ide kreatif para pecinta & pemerhati sepak bola, pelaku suporter, serta masyarakat umum lainnya yang menaruh minat pada sepak bola. Polosnya pada saat itu, sekaligus beranggapan bahwa saya merupakan pihak yang serta merta ikut ”terkena” tanggung jawab untuk ikut memperbaiki kisruhnya sepak bola nasional. Ada sedikit kepercayaan diri akan adanya sedikit kemampuan yang bisa disumbangkan untuk setidaknya menyemangati ”si pasien” (sepak bola nasional) untuk tetap yakin sembuh dan bangkit dari penyakit yang menderanya. Faktanya yang terjadi bukannya langkah nyata memproduksi tulisan namun justru upaya menarik diri akibat patah arang demi melihat bahwa kerusakan yang dialami dunia sepak bola Indonesia itu nyaris sempurna.

Pada mulanya tumbuhnya kelompok-kelompok suporter yang bergairah menata diri untuk belajar tertib dan berkreasi membuat atraksi di arena pertandingan telah membersitkan adanya cahaya dari lilin harapan akan munculnya suporter tim nasional sekaliber pendukung tim Korea Selatan yang masyhur saat perhelatan FIFA World Cup 2002. Namun pada akhirnya gelombang pesimisme datang jauh lebih dahsyat, ternganga dan malu oleh kumuhnya ”bangunan organisasi” PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang dipenuhi tikus-tikus oportunis, dan kepala kantornya bertindak nista, bersandiwara dengan infus palsunya di ranjang rumah sakit meski akhirnya menjalani diskon hukumannya. Perselingkuhan birokrasi kleptomania (meminjam istilah dari sahabat Didik Darmanto) antara pengurus klub yang (hampir) semuanya pejabat Eksekutif dengan para pejabat Legislatif dalam menyusun anggaran untuk berkompetisi. Hampir semua lancar, nyaris tanpa polemik semua sepakat pada ajuan anggaran bagi klub untuk berkompetisi.

Momen klimaksnya pada meledaknya kerusuhan ”Asu Semper” (Amuk Suporter 5 September 2006) saat bonek (bondo nekat), massa suporter dengan atribut hijau sebagai identitas pendukung Persebaya Surabaya, meradang dan membuat Stadion Gelora 10 November Tambaksari beserta kompleks sekitarnya berkobar, ulah mereka meninggalkan hitung-hitungan kerugian yang tidak sedikit. Tak ada lagi kemampuan untuk menjawab pertanyaan dari teman-teman tentang masa depan suporter yang pernah saya bangga-banggakan di depan mereka sebelumnya. Lilin harapan itu seketika leleh lebih cepat lagi, mendapati kenyataan bahwa Bapak Ketua Umum, dari ”kantornya” saat itu di Cipinang, sepertinya putus asa dengan mengumbar kebijakkan yang instan dan serampangan seputar tim U-23 dan rencana mendatangkan beberapa pemain muda Brasil untuk kemudian dinaturalisasi.

Inspirasi Gli Azzurri dan Titik Balik Semangat

Syukurlah, kita hidup di negara yang makmur dengan tayangan sepak bola dunia. Kemakmuran yang muncul berkat kecanggihan tehnologi dan gelombang industrialisasi. Hal ini mengingatkan pada isi skripsi saya yang mengutip pemikiran Arjun Appadurai dalam Modernity at Large: Cultural Dimension of Globalization, tentang adanya lima arus global yaitu ethnoscapes, technoscapes, financescapes, mediascapes, dan ideoscapes. Dalam hal ini saya mengalami dua arus global Sajian tayangan langsung sepak bola dari belahan dunia lain ini merupakan arus global dalam bidang media (mediascapes). Saya kemudian mengalami arus global yang lain ketika saya, yang di Indonesia, ikut larut dalam selebrasi transnasional untuk keberhasilan tim favorit saya Gli Azzurri Italia menjadi Campioni del Mondo dengan menggondol FIFA World Cup 2006 di Olympia-stadion Berlin. Jadi tidak hanya dirayakan di Berlin (Jerman) dan seluruh Italia, tetapi juga di belahan dunia lainnya (ideoscapes).

Saya mengamini tesis Arjun Appadurai, mengalami selebrasi sekaligus inspirasi transnasional kegemilangan Fabio Cannavaro dkk.

Kemenangan Italia, ditentukan oleh sepakan penalti pemain bernomor punggung tiga bernama Fabio Grosso, selain menghibur juga menyadarkan akan semangat baru. Kenyataan menyebutkan bahwa kegemilangan anak-anak negerinya Leonardo da Vinci hadir disaat sepak bola dalam negeri mereka tersudut akibat Calciopoli, skandal pengaturan skor di Liga Serie A. Sebuah skandal yang memaksa Franco Carraro sebagai presiden FIGC (Federazione Italiana Giuoco Calcio) lengser keprabon dan memicu penyelidikan serius yang melibatkan unsur-unsur penting yang dimiliki oleh negara tersebut. Hal yang pastinya akan berbeda jika terjadi di Indonesia, si pucuk pimpinan mustahil legowo untuk mundur dan para pemainnya belum tentu punya tanggung jawab moral untuk membantu memulihkan nama baik negaranya dengan prestasinya. Dan kasusnya pun dijamin akan menguap layaknya kasus-kasus lain dalam masyarakat. Italia memang negara besar yang punya sumber daya dan pengalaman lebih dari cukup untuk bangkit dan merangkai prestasi. Namun dari hajatan di Jerman kita ditunjukkan kenyataan bahwa, yang sedang dirundung konflik seperti Pantai Gading atau negara miskin macam Togo pun bisa melangkah jauh mengukir prestasi. Selagi berandai-andai, optimisme itu pulang ke rumah pikiran mengajak untuk lebih baik bekerja dan berpikir keras menyingkirkan hambatan-hambatan yang mengganggu.

You’ll Never Walk Alone: Persahabatan Dunia Maya
Come back atau lebih tepatnya anugerah semangat yang tak dinyana-nyana ini nyatanya bukan hasil kontemplasi dan introspeksi diri semata akan tetapi baik langsung ataupun tidak berkat inspirasi dari peristiwa dan beberapa person. Beberapa peristiwa yang berjasa mengapungkan semangat itu telah coba dikisahkan diatas. Nah, untuk selanjutnya adalah cerita tentang beberapa sosok yang berjasa.

Saya mencoba untuk kilas balik sejenak membawa pada masa yang sudah terlewati dalam perjalanan hidup ini. Kisah pun bermula saat menelusuri jagat maya mencari bahan untuk skripsi saya ”tersesat” di sebuah blog yang khusus bertema sepak bola dan suporter. Entah dorongan apa yang membuat saya nekat berkirim e-mail pada pengelola blog itu untuk meminta bantuan pemikiran untuk calon skripsi saya. Di kemudian hari saya berhutang budi pada mas Bambang Haryanto, pengelola blog Suporter Indonesia, yang menyambut permintaan bantuan tersebut dengan sangat baik. Bahkan tak hanya memberi masukan gagasan dan referensi tapi juga dorongan semangat. Ada satu SMS yang sampai sekarang masih tersimpan di inbox handphone saya tertanggal 27/05/05 14:01 isinya sebagai berikut: ”You’ll Never Walk Alone”(Oscar Hm).Di glory night itu sy jg pilih L’pool,wl fave sy Juve & FC Hollywood.Slamat,Aji tak jln sendiri jg saat buat skripsi :-). Wah, bagi saya sebuah kehormatan besar karena bantuan dan sokongan semangat tersebut dari tokoh yang amat kompeten di bidangnya dan tercatat sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000). Menjadi tugas saya untuk menapaktilasi jejak beliau, membuat kontribusi yang konkret bagi perkembangan sepak bola nasional dalam wujud konsistensi untuk bersikap kritis dan senantiasa mengapungkan setiap ide serta gagasan.

Dunia maya menghadirkan lagi hal ajaib dalam kehidupan saya, memberi teman baru yang baik. Buat Ditalia 'dEeTa' yang menyuguhkan bukti bahwa di dunia ini selalu tersedia banyak orang ramah, nyaris tanpa prasangka, dan bersedia membantu serta berbagi pengalaman dengan cara yang paling sederhana. Juga pada satu peristiwa purnanya budhe (kakak perempuan ibu) dari tugas di dunia dan pulang untuk memeluk bumi. Semoga mendapat tempat yang sebaik-baiknya disisi-Nya. Mewariskan berupa teladan untuk bekerja dan bekerja tanpa perlu risau tentang hasil yang akan hadir.

Tentang semua inspirasi itu, kita hanya perlu kerja keras, solidaritas dan kesederhanaan. Maka sepak bola dan suporter Indonesia berkenan berubah...