Sepakbola: Olahraga, Kekuatan Pertunjukan dan Ritus Sosial

, , No Comments
Football devotee: Tak mudah untuk dipahami (Photograph©2002 Andrew Kaufman)
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa salah satu dari “kegairahan besar” (the great passion) di abad dua puluh ini adalah dunia olahraga. Umberto Eco, author buku fenomenal Il nome della rosa, dalam bukunya yang bertitel Tamasya dalam Hiperealitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) berpandangan bahwa olahraga mengalami peristiwa diamplifikasi, tatkala olahraga yang mulanya sebuah permainan yang dimainkan oleh satu orang menjelma semacam diskuisisi dalam permainan. Olahraga berubah sebagai sebuah permainan yang dimainkan untuk ditonton orang lain. 

Dari tesis Eco itu, olahraga pada awalnya merupakan agenda dan kegiatan individu yang diantaranya bertujuan untuk menjaga dan atau meningkatkan kebugaran, atau sekedar kegiatan rekreatif serta bersenang-senang untuk pelakunya semata. Kemudian berubah seiring dengan adanya perubahan kebijakan yang bentuknya bisa berupa upaya untuk mengadu kualitas dan kecakapan seseorang atau beberapa orang dalam olahraga atau permainan tersebut dalam suatu perlombaan atau pertandingan yang diadakan oleh otoritas tertentu yang biasanya adalah pihak penguasa. Sedang kehadiran penonton awalnya berperan sebagai saksi munculnya pemenang atau yang terbaik dalam perlombaan dan pertandingan tersebut. Olimpiade dan Gladiator adalah beberapa contoh olahraga atau permainan yang dimainkan untuk dinikmati massa penonton. Upaya penguasa untuk mendapatkan hiburan dan kesenangan dari pertunjukan olahraga dan permainan tersebut menulari rakyatnya. Olahraga dan permainan yang relatif rutin diselenggarakan dan dihadiri banyak orang sebagai penonton tersebut telah menjadi sebuah ritus sosial.

Gladiator: Ritus Sosial masa lalu
Di era globalisasi ini kemudian dikenal adanya istilah sportainment yang mengonfirmasikan fakta bahwa olahraga tak lagi sekedar olah tubuh tetapi juga sebuah industri hiburan dan bisnis pertunjukan yang mengundang ribuan penonton dan jutaan pemirsa. Sepakbola, globalisasi paling sukses di planet bumi, dengan banyaknya event dan kompetisi yang rutin merupakan cabang olahraga yang paling kerap menghadirkan adanya fenomena ritus sosial. Sir Aldous Huxley, pemikir Inggris, pernah meramalkan bahwa yang menindas masyarakat dunia bukan para penguasa lalim melainkan hasrat terhadap hiburan, orang modern terpenjara dan tenggelam dalam hasratnya untuk menghibur diri.

Kini, seiring perubahan sosial yang begitu cepat sepakbola bukan sekadar olahraga melainkan juga sebuah bentuk pertunjukan sebagai wahana untuk melayani hasrat yang terus bertambah tanpa batas dan untuk memenuhi rasa haus terhadap ritus sosial yaitu ritus kepuasan yang tidak dapat dilakukan sendirian. Seperti yang terjadi di negara-negara di benua Eropa terdapat fenomena setiap akhir pekan yang dikenal dengan “The Special Saturday Ritual” yaitu saat suatu keluarga menghabiskan waktu bersama, berbagi emosi dan kenangan yang unik dengan mendatangi stadion-stadion untuk menonton dan kemudian menjadi suporter dengan mendukung tim sepakbola kesayangannya bertanding.

Cinta Buta Suporter Sepakbola
Football clubs offer a collective and symbolic focus for a sense of belonging and pride in a local community. Some people have even described following football clubs as a neo-religious form of devotion.

Apakah kalimat yang diambil dari salah satu artikel Sir Norman Chester Centre for Football Research yang berjudul Fact Sheet 3: Why Support Football? ini sudah mencerminkan realitas yang ada? Faktanya itulah yang terjadi, penonton dan suporter, khususnya di Benua Eropa, datang ke stadion tidak sekedar untuk menyaksikan sebuah pertandingan sepakbola semata tetapi datang untuk mengalami event; untuk ikut ambil bagian dalam sebuah kejadian kolektif. Awalnya yang lebih kental adalah karakter penonton daripada karakter suporter. Tatkala orang hadir di stadion untuk menikmati pertandingan dalam rangka memuaskan hasrat akan hiburan. Kemudian mulai bergeser ketika harapan dan kecintaan penonton pada tim yang didukung semakin besar. Maka yang terjadi adalah muncul sikap fanatik dimana suporter mengidentifikasikan secara berlebihan (over-identify) atau, senada dengan quote diatas, sebagai bentuk religiusitas baru atas dasar cinta yang dalam pada klub yang mereka dukung.

Ketika penonton dan suporter hadir mengikuti jalannya pertandingan tidak hanya untuk melihat bola bergulir dari kaki ke kaki, tetapi mereka melihat wujud kompetisi dan konflik antara dua tim dengan hasrat yang besar akan kemenangan dan kehormatan. Pada dasarnya mereka melihat sebuah perjuangan, sebuah kejadian layaknya drama yang kadang heroik, tragis sekaligus dramatis. Akhir pertandingan tidak hanya berisi senyum kepuasan tetapi juga keluh kecewa serta cucuran air mata dari penonton dan suporternya. Drama dalam sepak bola senantiasa memberi kesan yang tidak biasa bagi para penggemarnya, tanpa skenario layaknya sebuah film, nyaris tak terduga penuh dengan unsur kejutan, baik dalam aksi maupun hasil pertandingan. Tak heran apabila siaran pertandingan sepak bola merupakan bisnis hiburan yang bergelimang uang yang hanya bisa disaingi oleh industri perfilman Hollywood.

Suporter memberi arti pada sebuah bisnis tontonan olahraga, khususnya sepakbola. Dalam bingkai sebuah pertunjukan, suporter saat ini mengambil dua peran sekaligus yaitu sebagai penampil (performer) dan penonton (audience). Sebagai penampil (performer) yang ikut menentukan jalannya pertandingan sepakbola, suporter kemudian menetapkan identitas yang membedakannya dengan penonton biasa. Suporter jauh lebih banyak bergerak, bersuara dan berkreasi di dalam stadion dibanding penonton yang terkadang hanya ingin menikmati suguhan permainan yang cantik dari kedua tim yang bertanding. Suporter dengan peran penyulut motivasi dan penghibur itu biasanya membentuk kerumunan dan menempati area atau tribun tertentu di dalam stadion. Para fanatik ini menemukan kebahagiaan dengan jalan mendukung secara all out tim kesayangannya, sekaligus memenuhi kebutuhan mereka akan ritus kepuasan yang tidak dapat dilakukan sendirian. Itulah sepak bola, yang begitu cepat bermutasi dari sekedar olahraga lalu menjadi suatu bisnis pertunjukan yang menghadirkan fenomena ritus sosial.

0 comments: