Oleh: Aji Wibowo

Perhelatan AFC Asian Cup 2007 tinggal menghitung hari. Berkaca pada event-event serupa yang diselenggarakan di negara-negara lain, hajatan tersebut jelas memiliki potensi untuk membawa kemaslahatan bagi banyak pihak. Masyarakat mendapatkan dua kesempatan sekaligus, hiburan dan peluang kerja serta usaha. Pemerintah pun menjadi pihak yang disenangkan dengan bergairahnya sektor ekonomi setidaknya dalam satu bulan ke depan. Bayangan keuntungan yang akan direguk, empat negara tuan rumah, dari berbagai sektor segera mewujud. Mulai dari jasa transportasi, food & beverage, penginapan, tempat hiburan, pedagang souvenir hingga terwadahinya sebagian besar penduduk sebagai tenaga kerja paruh waktu.

Euphoria tersebut membawa pikiran ini berkelana pada kenangan lima tahun yang lalu, persis menjelang 2002 FIFA World Cup™ Korea-Jepang. Saat masih berstatus mahasiswa dan menjadi tahu kegairahan yang terjadi pada teman-teman mahasiswa menjelang sebuah event besar sepak bola. Mahasiswa seperti halnya masyarakat yang lain, mencoba ikut menikmati hiburan dan peluang mendapat keuntungan secara finansial dari suatu event. Apakah sekedar ikut meramaikan suasana di lingkungan mereka atau sebagai aktor yang ikut memberi kontribusi langsung yang signifikan pada penyelenggaraan. Bergabung dengan kelompok suporter untuk mendukung tim Merah Putih atau bergabung menjadi sukarelawan membantu kelancaran penyelenggaraan.

Diluar kontribusi yang sifatnya temporer tersebut, mahasiswa idealnya bisa berpartisipasi secara terus-menerus dan aktif bagi sepakbola nasional. Bulaksumur Pos edisi 54 (Selasa, 28 Mei 2002) menjadi monumen atas kegundahan mengenai bagaimana sebaiknya peran dan posisi mahasiswa dalam pembangunan sepakbola dan olahraga nasional.

Mengapa harus melibatkan mahasiswa? Daniel Singer (1926-2000), author Prelude to Revolution: France in May 1968 (Hill & Wang, 1970) memberi jawaban dengan Singer Model-nya. “Students and intellectuals acted first”. Mahasiswa dan kaum intelektual dipahami sebagai kekuatan sosial yang independen dan otonom. Mahasiswa senantiasa mengambil tindakan pertama dalam mengawali banyak peristiwa besar dunia seperti Revolusi Rusia 1905, Revolusi Prancis Mei 1968, Reformasi Indonesia Mei 1998 dan lain-lain. Dalam tindakannya mengawali suatu perubahan tidak dengan mengarahkan atau mengorganisir para pekerja, kaum buruh atau kelas masyarakat yang lain melainkan sekedar mengekspresikan kebutuhan, kesadaran dan impian mereka sendiri. Maka mahasiswa dipandang mewakili suatu kelas dalam masyarakat yang memiliki idealisme murni, dengan dedikasi dan komitmen pada nilai-nilai kebenaran.

'The May 1968 student riots in Paris' Corbis Images

Baru-baru ini skandal suap, melibatkan beberapa pengurus klub Penajam Medan Jaya dan pengurus PSSI, menyita perhatian dan mengalahkan promosi AFC Asian Cup. Perbuatan kriminil ini bukanlah hal baru melainkan kebiasaan usang yang dijalankan oleh aktor yang berbeda. Pecinta sejati dan masyarakat sepakbola nasional, termasuk didalamnya adalah mahasiswa, mestilah terpanggil dan bersikap. Realitasnya dunia sepakbola tanah air memiliki begitu banyak mahasiswa yang menggemari sepakbola dan menjamurnya kelompok suporter di lingkungan kampus. Kita patut berharap bahwa sedikit dari mereka berkenan untuk memiliki insiatif dan bahu-membahu bersama masyarakat peduli sepakbola nasional untuk meluruskan dan membersihkan lingkungan sepakbola nasional dan khususnya rumah PSSI yang “kotor”.

Berikut ini adalah celetuk yang (menurut saya pribadi) disajikan dengan bahasa yang polos, dihantarkan dengan kurang runtut, dan referensi yang minim. Namun setidaknya pesan tersebut cukup jelas dan (masih) relevan, semoga. Tulisan ini juga sempat mendapat sentuhan dari sahabat Didik Darmanto sebagai editor.
***

Piala Dunia dan Mahasiswa


“The love of soccer now is a universal language and bind us all together”
Sambutan Bill Clinton pada Piala Dunia USA ’94 ini menunjukkan betapa besar pengaruh sepakbola dalam kehidupan manusia. Sepak bola telah menjadi bahasa yang universal yang bisa menjadi alat perdamaian.

Di penghujung bulan Mei ini. Tepatnya 31 Mei hingga akhir Juni nanti. Dunia akan disuguhi aksi-aksi ajaib para bintang sepakbola dunia. Mereka akan bermain dalam sebuah perhelatan akbar yang bernama Piala Dunia. Sebuah event dunia yang kebesarannya melebihi Olimpiade dan event olah raga lainnya.

Adakah relasinya antara mahasiswa dengan Piala Dunia ini? Memang si jenius Zinedine Yazid Zidane, pemain dengan transfer termahal di planet bumi, bukanlah mahasiswa di Spanyol. Melainkan seorang pemain dari sebuah kaya di Eropa. Begitu juga dengan pemain beken lainnya seperti Totti, Figo, dan Vieri. Namun bukan berarti tidak ada sama sekali mahasiswa yang ikut berlaga di Korea-Jepang. Tim nasional Korea Selatan, salah satu tuan rumah yang ditunjuk FIFA, mempunyai beberapa pemain yang masih berstatus mahasiswa. Cha Doo-ri, anak pesepakbola legendaries Korea Selatan Cha Bum-keun, adalah mahasiswa di Universitas Korea. Begitu pula dengan rekannya Lee Chun-soo.

Lee Chun-soo: Another Korean Heroes

Dalam kejuaraan sepakbola empat tahunan yang pertama kalinya digelar di benua Asia ini juga banyak mahasiswa dari Korea dan Jepang yang menjadi tenaga sukarelawan. Mereka mengerjakan tugas-tugas vital seperti menjadi translator bahasa, official di press center, pengemudi dan banyak pekerjaan yang lain. Tanggung jawab sebagai mahasiswa membuat mereka mau mengerjakan itu semua. Bahkan tanpa dibayar.

Bagaimana dengan mahasiswa Indonesia, Negara yang menjadikan sepakbola sebagai olah raga rakyat. Apa saja yang dilakukannya?Jelas untuk saat ini mereka hanya menjadi penikmat saja. Menjadi pendukung salah satu tim yang berlaga adalah pilihannya. Karena Indonesia gagal berlaga dikancah dunia. Tak mengherankan jika bukan “hidup Indonesia“ yang mereka teriakkan, tetapi “forza Italia”, “viva Brazil” atau “allez France”. Selain itu, banyak mahasiswa yang karena piala dunia rela “menyisihkan” uang sakunya untuk dipertaruhkan selama perhelatan hebat itu. Mahasiswa rajin membolak-balik jadwal pertandingan. Mendiskusikannya dengan serius penuh analisis hitung-menghitung kekuatan tim yang bakal bertanding. Bahkan tak jarang memerlukan bantuan paranormal.

Tapi ada juga mahasiswa yang memanfaatkan momen piala dunia untuk membuat kegiatan yang lebih bermakna. Seperti acara pertandingan liga futsal, nonton bareng, dan kegiatan lain yang temanya tak jauh dari urusan si kulit bundar. Namun bagaimanapun juga kegiatan ini masih dipertanyakan sumbangannya untuk memajukan persepakbolaan kita. Karena sifatnya yang having fun dan dirasakan sesaat.

Idealnya mahasiswa bisa berbuat lebih dari sekedar itu. Dengan modal intelektualitas dan semangat bak kuda, mahasiswa bisa membuat kegiatan yang dapat membantu Indonesia berprestasi di bidang olahraga. Dan tentunya berkarya lebih nyata untuk memajukan dunia persepakbolaan Indonesia. Harus kita pikirkan bersama langkah apa saja yang dapat kita perbuat untuk memajukan prestasi sepakbola di tanah air. Apakah dengan membuat media kepelatihan , membantu langkah-langkah pembinaan pemain muda, memberi masukan pada otoritas berupa sebuah laporan penelitian atau lainnya yang bisa memberikan sumbangan berarti demi mengubah wajah persepakbolaan nasional.

Saat ini masih terjadi kesalahan persepsi di kalangan mahasiswa sendiri. Menurutnya mengharumkan bangsa dan negara sekedar melalui dunia politik, sosial, ekonomi. Sehingga mahasiswa meskipun mempunyai kecintaan yang mendalam pada sepakbola mereka lebih suka berjuang di bidang politik, ekonomi dan lainnya. Semestinya berjuang di bidang olahraga sama pentingnya dengan pilihan menjadi tehnokrat, birokrat ataupun pebisnis. Mahasiswa PBAD sebenarnya punya potensi cukup besar untuk memajukan dunia olahraga, khususnya sepakbola. Karena bermodal background olah raga dan spiritnya.

Kenyataannya mereka juga tak bisa berbuat banyak. Bahkan mereka ikut terjebak ke dalam pola study oriented. Namun hal ini bukan murni kesalahan mahasiswa. Seharusnya mereka diberi kesempatan mengembangkan karirnya di bidang olahraga, dengan dibantu dalam hal pelatihan dan pembinaan yang serius. Namun dari pihak perguruan tinggi sendiri kurang tanggap. Apalagi saat ini dunia sepak bola Indonesia belum bisa menjamin kesejahteraan hidup pemainnya. Tak mengherankan mahasiswa lebih memilih terjun ke dunia teknokrat maupun birokrat yang dipercaya bisa lebih menjamin masa depannya. Ternyata status mahasiswa belum tentu memberikan jaminan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih enak.

Untuk meniru apa yang dicapai Cha Doo-ri dan Lee Chun-soo pastilah sangat sulit dengan kondisi yang dialami Indonesia saat ini. Maka mahasiswa sebagai agent of change harus berupaya untuk itu. Mengubah sistem usang yang berpihak pada penguasa menjadi sistem yang memajukan bangsa ini secara keseluruhan. Diperlukan juga kerjasama dari seluruh komponen bangsa.