Oleh: Aji Wibowo

Gapura baru, lampu warna-warni, mural dan graffiti bertema perjuangan, panji-panji serta atribut lain yang serba merah putih. Sepak bola tarkam, balap karung, panjat pinang, gerak jalan, karnaval juga seabrek kegiatan lainnya. Meriah dan semarak, itulah yang sedang terjadi di berbagai sudut kota dan desa di negeri ini sepanjang bulan Agustus ini. Lingkungan pun menjadi jauh lebih bersih, lebih rapi dan lebih berwarna. Sedangkan masyarakatnya menjadi jauh lebih antusias, baik dengan berperan dalam kegiatan atau hanya untuk menikmati tontonan.

Semua yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dimaksudkan untuk memperingati dan merayakan (lagi) hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus setiap tahunnya. Meski banyak dari mereka tak mengenal apalagi menginsyafi apa makna kemerdekaan, setidaknya peringatan hari Kemerdekaan yang dirayakan itu memberi masyarakat Indonesia sebuah momentum sekaligus kesempatan untuk membenahi lingkungan tempat tinggalnya dan tentunya semangat solidaritas serta komitmen sosialnya.

Dalam suasana Independence Day, setiap orang di negeri ini berhak untuk merasa sudah merdeka dan berhak juga untuk merasa belum merdeka. Dan masing-masing dari mereka yang merasa merdeka pun boleh memiliki definisi dan versi yang berbeda-beda tentang kemerdekaan. Tetapi disini boleh kita sepakati bahwa definisi kemerdekaan yang diperingati oleh bangsa ini adalah bebasnya dari jerat kolonialisme bentuk lama atau penjajahan fisik bangsa asing.

Setelah 62 tahun bangsa ini merdeka, pada kenyataannya belum mencapai kondisi ideal bangsa yang “merdeka”. Yang justru terjadi (dan diakui sendiri oleh Presiden) adalah korupsi makin kalap, hukum dan demokrasi tak kunjung tegak, jumlah rakyat miskin dan pengangguran justru terus bertambah, rapuhnya perekonomian nasional, hutang luar negeri yang masih menumpuk dan rentannya stabilitas politik serta keamanan. Jadi, kemerdekaan yang dicapai bangsa ini tidak selalu berbanding lurus, asosiatif dan indikatif dengan yang namanya kedaulatan, keamanan, keadilan sosial, kemakmuran dan kebebasan itu sendiri.

Kemerdekaan pernah menjadi ujung atau garis finish dari perjuangan seluruh bangsa ini. Namun jika hingga detik ini pemikiran itu terus menerus menjadi pegangan rakyat Indonesia, maka kemerdekaan hanya akan menjadi mitos yang membelenggu. Nikmat kemerdekaan itu harus disyukuri dengan cara yang baik. Tidak hanya dengan ucapan dan ungkapan tetapi juga disertai dengan ikhtiar mengisi kemerdekaan. Maka kemerdekaan harus menjadi awal perjuangan dan modal untuk mewujudkan segala hal ideal yang diidam-idamkan tersebut.

Dengan demikian, tentu saja hari kemerdekaan bangsa kita ini tak cukup diperingati hanya dengan upacara-upacara, pidato atau sambutan dan berbagi kegembiraan dalam berbagai bentuk kegiatan oleh rakyatnya. Dengan budaya pesta dan hura-hura kemenangan yang lebih mengemuka daripada upaya untuk menyerap kembali pesan dan pelajaran moral kemerdekaan. Tanpa retrospeksi dan refleksi, peringatan hari kemerdekaan itu akan bernasib sama dengan banyak hari besar lain yang sekedar seremoni tanpa inspirasi.

Suporter Mawas Diri
Terkait dengan pesan retrospeksi dan refleksi juga disertai dengan introspeksi, dunia sepak bola kita amat layak untuk mengikutinya. Terutama akhir-akhir ini, saat anarkisme dan skandal di sepak bola nasional kembali merebak. Suporter “melemparkan” kemarahannya ke lapangan, pemain menjadi mudah kehilangan akal sehatnya, dan para pengurus yang tak mampu untuk menolong situasi menjadi lebih baik.Pihak-pihak tersebut terseret oleh semakin kerasnya iklim kompetisi aneh bin ajaib negeri ini yang memaksa pelakunya tereduksi rasionalitasnya dan dikalahkan oleh egoisme.

Anarkisme suporter yang kembali meletup di beberapa tempat, ironisnya terjadi tak begitu lama setelah suporter Indonesia menuai sanjung dan puji berkat antusiasme aksi dan atraksi di AFC Asian Cup 2007. Setiap opini bahwa kekerasan suporter akan dengan segera menjadi barang langka di sepak bola Indonesia, akhirnya perlu dikoreksi. Pernyataan yang terlalu dini tentang dunia suporter sepak bola nasional yang mulai menjadi tertib, atraktif dan kreatif, bisa meninabobokan masyarakat sepak bola nasional. Seperti halnya mitos kemerdekaan yang membelenggu rakyat Indonesia.

Budaya introspeksi, retrospeksi dan refleksi dalam menyikapi suatu peristiwa dan peringatannya, menyadarkan kita untuk menilik kembali kekurangan yang dimiliki dan menyerap makna dari suatu peristiwa itu untuk selanjutnya merangkai harapan yang lebih baik. Masih banyaknya keributan yang timbul sebaiknya dipandang sebagai belum tuntasnya kampanye suporter sportif kreatif. Virus suporter tertib itu bisa jadi hanya mengenai suporter pada tingkat atau level tertentu, belum sepenuhnya menjangkiti pada suporter akar rumput (grass root) yang juga masih disibukkan dengan berbagai permasalahan hidupnya sehari-hari.

Terus menerus memperbaiki kekurangan yang dimiliki dan meningkatkan kualitas diri adalah sebuah tugas besar. Menjadi suporter tertib saja belumlah cukup. Untuk membuat sepak bola negeri ini lebih baik butuh lebih banyak lagi suporter yang kritis terhadap setiap penyelewengan dan penyimpangan oleh insan sepak bola baik di dalam tubuh PSSI maupun di luar otoritas tertinggi sepak bola tersebut. Ujung perjuangan masih jauh, namun dengan kerja keras dan (tentunya) menyerap semangat kemerdekaan, mimpi itu akan segera mewujud.