Kembali Pada Semangat Berkarya

, , 1 comment
Oleh : Aji Wibowo


Buku terakhir yang saya baca adalah Kembali pada Cinta Kasihmu terbitan Lentera Dipantara. Sebuah novel pendek Count Leo Nikolaevich Tolstoy (1828-1910), pengarang religius dan sastrawan besar Rusia, yang dialihbahasakan oleh sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006). Berkisah tentang fluktuasi hubungan cinta kasih dalam sebuah perkawinan. Pada awalnya adalah cinta yang hangat menggebu yang kemudian perlahan redup karena tergodanya sang wanita pada gemerlap dunia untuk akhirnya dia tercerahkan kembali pada cinta kasih suaminya. Bagi saya buku tersebut memiliki relevansi yang cukup dengan apa yang saya alami tetapi bukan pada kehidupan cinta kasih melainkan pada pasang surut semangat untuk menulis. Setelah lama vacuum dan sibuk dengan urusan remeh temeh yang menggoyahkan, akhirnya senang rasanya bisa mendapatkan kembali ruh semangat dan kesempatan melontarkan uneg-uneg pada sebuah dunia yang telah menjadi semacam oksigen untuk bernafas, yaitu dunia sepak bola dengan segala dinamika didalamnya.

Keinginan untuk ikut ”memikirkan” kembali sepak bola, khususnya nasional beserta kehidupan suporternya, bisa disebut sebuah keajaiban. Betapa tidak, setelah menuntaskan lelaku akademik, terbersit niat untuk semakin giat ikut meramaikan lalu lintas opini dan ide kreatif para pecinta & pemerhati sepak bola, pelaku suporter, serta masyarakat umum lainnya yang menaruh minat pada sepak bola. Polosnya pada saat itu, sekaligus beranggapan bahwa saya merupakan pihak yang serta merta ikut ”terkena” tanggung jawab untuk ikut memperbaiki kisruhnya sepak bola nasional. Ada sedikit kepercayaan diri akan adanya sedikit kemampuan yang bisa disumbangkan untuk setidaknya menyemangati ”si pasien” (sepak bola nasional) untuk tetap yakin sembuh dan bangkit dari penyakit yang menderanya. Faktanya yang terjadi bukannya langkah nyata memproduksi tulisan namun justru upaya menarik diri akibat patah arang demi melihat bahwa kerusakan yang dialami dunia sepak bola Indonesia itu nyaris sempurna.

Pada mulanya tumbuhnya kelompok-kelompok suporter yang bergairah menata diri untuk belajar tertib dan berkreasi membuat atraksi di arena pertandingan telah membersitkan adanya cahaya dari lilin harapan akan munculnya suporter tim nasional sekaliber pendukung tim Korea Selatan yang masyhur saat perhelatan FIFA World Cup 2002. Namun pada akhirnya gelombang pesimisme datang jauh lebih dahsyat, ternganga dan malu oleh kumuhnya ”bangunan organisasi” PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang dipenuhi tikus-tikus oportunis, dan kepala kantornya bertindak nista, bersandiwara dengan infus palsunya di ranjang rumah sakit meski akhirnya menjalani diskon hukumannya. Perselingkuhan birokrasi kleptomania (meminjam istilah dari sahabat Didik Darmanto) antara pengurus klub yang (hampir) semuanya pejabat Eksekutif dengan para pejabat Legislatif dalam menyusun anggaran untuk berkompetisi. Hampir semua lancar, nyaris tanpa polemik semua sepakat pada ajuan anggaran bagi klub untuk berkompetisi.

Momen klimaksnya pada meledaknya kerusuhan ”Asu Semper” (Amuk Suporter 5 September 2006) saat bonek (bondo nekat), massa suporter dengan atribut hijau sebagai identitas pendukung Persebaya Surabaya, meradang dan membuat Stadion Gelora 10 November Tambaksari beserta kompleks sekitarnya berkobar, ulah mereka meninggalkan hitung-hitungan kerugian yang tidak sedikit. Tak ada lagi kemampuan untuk menjawab pertanyaan dari teman-teman tentang masa depan suporter yang pernah saya bangga-banggakan di depan mereka sebelumnya. Lilin harapan itu seketika leleh lebih cepat lagi, mendapati kenyataan bahwa Bapak Ketua Umum, dari ”kantornya” saat itu di Cipinang, sepertinya putus asa dengan mengumbar kebijakkan yang instan dan serampangan seputar tim U-23 dan rencana mendatangkan beberapa pemain muda Brasil untuk kemudian dinaturalisasi.

Inspirasi Gli Azzurri dan Titik Balik Semangat

Syukurlah, kita hidup di negara yang makmur dengan tayangan sepak bola dunia. Kemakmuran yang muncul berkat kecanggihan tehnologi dan gelombang industrialisasi. Hal ini mengingatkan pada isi skripsi saya yang mengutip pemikiran Arjun Appadurai dalam Modernity at Large: Cultural Dimension of Globalization, tentang adanya lima arus global yaitu ethnoscapes, technoscapes, financescapes, mediascapes, dan ideoscapes. Dalam hal ini saya mengalami dua arus global Sajian tayangan langsung sepak bola dari belahan dunia lain ini merupakan arus global dalam bidang media (mediascapes). Saya kemudian mengalami arus global yang lain ketika saya, yang di Indonesia, ikut larut dalam selebrasi transnasional untuk keberhasilan tim favorit saya Gli Azzurri Italia menjadi Campioni del Mondo dengan menggondol FIFA World Cup 2006 di Olympia-stadion Berlin. Jadi tidak hanya dirayakan di Berlin (Jerman) dan seluruh Italia, tetapi juga di belahan dunia lainnya (ideoscapes).

Saya mengamini tesis Arjun Appadurai, mengalami selebrasi sekaligus inspirasi transnasional kegemilangan Fabio Cannavaro dkk.

Kemenangan Italia, ditentukan oleh sepakan penalti pemain bernomor punggung tiga bernama Fabio Grosso, selain menghibur juga menyadarkan akan semangat baru. Kenyataan menyebutkan bahwa kegemilangan anak-anak negerinya Leonardo da Vinci hadir disaat sepak bola dalam negeri mereka tersudut akibat Calciopoli, skandal pengaturan skor di Liga Serie A. Sebuah skandal yang memaksa Franco Carraro sebagai presiden FIGC (Federazione Italiana Giuoco Calcio) lengser keprabon dan memicu penyelidikan serius yang melibatkan unsur-unsur penting yang dimiliki oleh negara tersebut. Hal yang pastinya akan berbeda jika terjadi di Indonesia, si pucuk pimpinan mustahil legowo untuk mundur dan para pemainnya belum tentu punya tanggung jawab moral untuk membantu memulihkan nama baik negaranya dengan prestasinya. Dan kasusnya pun dijamin akan menguap layaknya kasus-kasus lain dalam masyarakat. Italia memang negara besar yang punya sumber daya dan pengalaman lebih dari cukup untuk bangkit dan merangkai prestasi. Namun dari hajatan di Jerman kita ditunjukkan kenyataan bahwa, yang sedang dirundung konflik seperti Pantai Gading atau negara miskin macam Togo pun bisa melangkah jauh mengukir prestasi. Selagi berandai-andai, optimisme itu pulang ke rumah pikiran mengajak untuk lebih baik bekerja dan berpikir keras menyingkirkan hambatan-hambatan yang mengganggu.

You’ll Never Walk Alone: Persahabatan Dunia Maya
Come back atau lebih tepatnya anugerah semangat yang tak dinyana-nyana ini nyatanya bukan hasil kontemplasi dan introspeksi diri semata akan tetapi baik langsung ataupun tidak berkat inspirasi dari peristiwa dan beberapa person. Beberapa peristiwa yang berjasa mengapungkan semangat itu telah coba dikisahkan diatas. Nah, untuk selanjutnya adalah cerita tentang beberapa sosok yang berjasa.

Saya mencoba untuk kilas balik sejenak membawa pada masa yang sudah terlewati dalam perjalanan hidup ini. Kisah pun bermula saat menelusuri jagat maya mencari bahan untuk skripsi saya ”tersesat” di sebuah blog yang khusus bertema sepak bola dan suporter. Entah dorongan apa yang membuat saya nekat berkirim e-mail pada pengelola blog itu untuk meminta bantuan pemikiran untuk calon skripsi saya. Di kemudian hari saya berhutang budi pada mas Bambang Haryanto, pengelola blog Suporter Indonesia, yang menyambut permintaan bantuan tersebut dengan sangat baik. Bahkan tak hanya memberi masukan gagasan dan referensi tapi juga dorongan semangat. Ada satu SMS yang sampai sekarang masih tersimpan di inbox handphone saya tertanggal 27/05/05 14:01 isinya sebagai berikut: ”You’ll Never Walk Alone”(Oscar Hm).Di glory night itu sy jg pilih L’pool,wl fave sy Juve & FC Hollywood.Slamat,Aji tak jln sendiri jg saat buat skripsi :-). Wah, bagi saya sebuah kehormatan besar karena bantuan dan sokongan semangat tersebut dari tokoh yang amat kompeten di bidangnya dan tercatat sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000). Menjadi tugas saya untuk menapaktilasi jejak beliau, membuat kontribusi yang konkret bagi perkembangan sepak bola nasional dalam wujud konsistensi untuk bersikap kritis dan senantiasa mengapungkan setiap ide serta gagasan.

Dunia maya menghadirkan lagi hal ajaib dalam kehidupan saya, memberi teman baru yang baik. Buat Ditalia 'dEeTa' yang menyuguhkan bukti bahwa di dunia ini selalu tersedia banyak orang ramah, nyaris tanpa prasangka, dan bersedia membantu serta berbagi pengalaman dengan cara yang paling sederhana. Juga pada satu peristiwa purnanya budhe (kakak perempuan ibu) dari tugas di dunia dan pulang untuk memeluk bumi. Semoga mendapat tempat yang sebaik-baiknya disisi-Nya. Mewariskan berupa teladan untuk bekerja dan bekerja tanpa perlu risau tentang hasil yang akan hadir.

Tentang semua inspirasi itu, kita hanya perlu kerja keras, solidaritas dan kesederhanaan. Maka sepak bola dan suporter Indonesia berkenan berubah...

1 comments:

Bambang Haryanto mengatakan...

Bravo. Aji. Terima kasih aku bisa masuk dalam blogmu ini. Artinya, rayuanku dulu agar kau meluncurkan blog, kini jadi kenyataan. Saya yakin, wabahmu itu akan menular dan itu bermanfaat bagi pengembangan "creme de la creme" suporter Indonesia yang menulis. Hmm, kini saya tidak lagi sendiri.