Sepak bola Indonesia: Sedih Tak Berujung

, , 1 comment


Tulisan ini adalah yang teraneh yang pernah dipostingkan di blog ini. Meski di upload tanggal 24 Desember tapi kejadian sesudahnya masih terangkum di dalamnya. Sebabnya adalah munculnya peristiwa-peristiwa tragis sepak bola nasional yang begitu menggugah dan mengiris batin.

Warta buruk tentang dunia sepak bola nasional seakan tak pernah bosan menyambangi kita. Temanya tak pernah beranjak dari suporter anarkis, skandal internal pengurus, kompetisi dengan mutu pertandingan minimalis, sportifitas rendahan pemain dan official, kinerja perangkat pertandingan yang amburadul, dan tentunya mampatnya prestasi tim nasional dikancah internasional.


Fakta terkini tersaji pada babak delapan besar Liga Djarum Indonesia 2007 saat pertandingan Arema Malang melawan Persiwa Wamena. Serangkaian keputusan kontroversial wasit dan perangkatnya memicu terjadinya pemukulan terhadap korps pengadil pertandingan dan berlanjut dengan amuk suporter yang ironisnya dilakukan oleh massa Aremania, pendukung Arema, yang dianggap sebagai guru kelompok suporter kreatif di Indonesia. Stadion Brawijaya Kediri membara dan lebur.

Sehari kemudian, menyusul insiden tak kalah memalukan lainnya di stadion Manahan Solo yaitu adu fisik beberapa pemain Persija Jakarta dan Persik Kediri. Kebobrokan sepak bola nasional seakan menjadi sempurna saat sanksi dari Komisi Disiplin diabaikan oleh para pemain terhukum. Kepercayaan pada PSSI sebagai administrator alias pengelola sepak bola nasional tercampak ke titik nadir karena diskriminatif dan tidak konsisten dengan aturan yang diputuskannya sendiri.

Rentetan masalah itu seperti fenomena gunung es, kejadian-kejadian tersebut hanyalah puncak dari sekian banyak kisah gelap sepak bola nasional. Kasus Kediri dan Solo itu bukanlah kejadian yang berdiri sendiri dan bukannya tanpa sebab yang jelas. Meledaknya segala kekacauan pada pelaksanaan babak delapan besar adalah akumulasi dari ketidakberesan organisasi PSSI dan penyelenggaraan kompetisi sepak bola di Indonesia.

High Cost Competition
Pada pelaksanaannya, kompetisi Liga dan Copa Indonesia telah menyedot begitu banyak ongkos. Setiap tahun tak kurang ratusan milyar rupiah dihamburkan baik oleh sponsor, klub, dan tentunya masyarakat pecinta sepak bola. Klub peserta rata-rata menganggarkan belasan milyar rupiah demi mengarungi roda kompetisi.

Namun semua biaya besar itu tidak melulu habis untuk kebutuhan wajar suatu kompetisi tapi terdapat juga biaya siluman (non-football cost). Sudah menjadi rahasia umum bahwa dana tersebut digunakan diantaranya untuk "menjamu dan menyejahterakan” wasit, paket "promosi dan degradasi", tawar menawar sanksi, serta memperlancar legalisasi dan akreditisasi pemain.

Anggaran klub yang sudah sedemikian terbebani oleh menggelembungnya harga kontrak dan gaji pemain asing serta lokal, akan semakin berat dengan adanya “biaya rupa-rupa” tersebut. Pahitnya hampir semua ongkos transaksi hitam itu dibiayai dari APBD alias uang rakyat. Belum lagi lamanya durasi kompetisi karena PSSI melalui BLI terlalu lentur (baca: inkonsisten) dengan rancangan jadwal yang dibuatnya mengakibatkan pembengkakan biaya.

In finem omnia: Kredo Salah Tafsir
Kemenangan adalah segalanya, nyata-nyata masih menjadi kredo bagi pegiat sepakbola di Indonesia. Dengan filosofi tersebut, yang terjadi adalah ketidakdewasaan sikap dan budaya anti-sportifitas. Setiap hasil selain menang apalagi kalah akan berujung pada kemarahan. Hal inilah yang menyeret official klub untuk menempuh segala cara termasuk melalui “jalur gelap” demi sebuah kemenangan. Akhirnya kemenangan tidak melulu ditentukan di atas lapangan hijau tetapi juga ditentukan oleh kekuatan tawar menawar di luar lapangan.

Filosofi ini bukan hanya monopoli pihak klub dengan kekuatan uangnya tetapi juga merasuk di setiap jiwa pendukungnya. Fanatisme dan militansi yang diwujudkan dengan gaya dukungan penuh semangat termasuk bermodal nekad mendampingi kemana pun tim kesayangannya bertanding adalah manifestasi dari hasrat untuk menjadi saksi kemenangan tim kesayangannya.

Hasrat tersebut bahkan seringkali berujung dengan pengorbanan nyawa dari suporter. Seperti yang terjadi pada Malik Fadli Fadilah, The Jakmania, yang tewas dalam perjalanan ke Stadion Lebak Bulus menjelang pertandingan ke-34 Liga Djarum Indonesia antara Persija melawan Semen Padang. Fadilah menyusul suporter sepakbola Indonesia lainnya yang terlebih dahulu martir pada kompetisi-kompetisi sebelumnya sebagai fanaticus anonymous seperti Suherman (suporter Persebaya), Beri Mardias (pendukung PSP Padang), Abdul Rochiem dan Mat Togel (Aremania).

Hal itu bermakna bahwa kompetisi sepak bola di negeri kita tak hanya mahal secara hitungan ekonomis namun juga dari segi yang lain. Berbagai kerusuhan dan keributan yang sempat mengemuka secara tidak langsung telah menambah kerugian yang ditimbulkan dari penyelenggaraan kompetisi. Polah anarkis penonton dan suporter semakin mencoreng citra sepak bola, mengganggu kepentingan umum, mengorbankan nyawa dan meninggalkan trauma pada masyarakat.

Dengan berbagai anomali tersebut, pada akhirnya kompetisi kehilangan idealisme, tujuan dan ruh kompetisi. Kompetisi yang dijalankan adalah pseudo kompetisi alias kompetisi palsu. Dimana setiap pertandingannya menjadi sekedar dagelan dengan skenario.

Moratorium Kompetisi & Pembenahan Organisasi
Uang, harga diri bahkan nyawa telah dikorbankan sementara kompetisi berjalan sedemikian kacaunya. Semua yang dikorbankan akan sia-sia apabila insan sepak bola nasional tak sadar diri dan kembali gagal mengambil hikmah dari pengalaman. Puncak kekacauan ini harusnya dijadikan momentum strategis untuk melakukan pembenahan dan perubahan. Dan dengan prioritas perubahan adalah para pengurus PSSI sebagai regulator dan pihak dengan saham dosa terbesar.

Langkah konkret pembenahan dan perubahan dapat dimulai dengan moratorium atau penghentian sementara kompetisi untuk memberi kesempatan PSSI menata ulang organisasi dan sistemnya. Hal mendesak yang harus segera dilakukan oleh pengurus PSSI yaitu mengakomodasi permintaan FIFA untuk merevisi pedoman dasar melalui mekanisme Munaslub. Keseriusan pengurus untuk merevisi pedoman dasar sesuai dengan statuta FIFA akan menjadi modal awal mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat sepak bola nasional.

Upaya vital lainnya adalah segera mengganti ketua umum PSSI yang cacat hukum dengan pemimpin baru yang bersih dan berkomitmen memajukan sepak bola nasional. Sebab hanya dengan memiliki pemimpin yang berwibawa juga organisasi yang bersih dan berani menegakkan aturanlah sepak bola Indonesia bisa dibangunkan kembali. Untuk menjamin pengurus tidak main-main dalam membersihkan organisasinya maka stakeholder yang lain seperti suporter dan pecinta sepak bola nasional harus selalu mengawasi proses revisi dan pembenahan itu dengan kritis.

1 comments:

Anonim mengatakan...

Bagus itu membangun suporter damai, seperti attitude MU-mania.

btw bagi yang ingin tau kemenangan dramatis MU atas Wigan, dalam partai penentuan sehingga MU jadi juara EPL 2007/2008, klik aja link di bawah ini:

http://tobadreams.wordpress.com/2008/05/12/manchester-united-juara-chelsea-harus-belajar-sportif/