Serba-serby Derby*

, , No Comments
*Ini adalah bagian pertama dari dua tulisan.

Akhir bulan Maret ini hawa panas berhembus dari Stadion Anfield. Di stadion berkapasitas 43.074 penonton tersebut mementaskan pertandingan sepakbola yang sohor dengan titel derby Merseyside antara The Reds Liverpool FC vs. The Toffees Everton. Derby Merseyside edisi yang ke-178 di liga dan ke-207 secara keseluruhan itu bukanlah sekadar pertandingan liga biasa, hiruk pikuknya sudah terasa jauh hari sebelum laga dihelat dan efek pertandingannya tak mudah hilang dalam tempo cepat. Media massa baik lokal maupun global ikut meramaikan dengan publisitas porsi berita dan ulasan yang massif. Selama pertandingan, dua tim bertarung dengan hasrat akan kemenangan dan ketegangan emosi yang lebih dari biasanya. Sedangkan para pendukung, selain dukungan menggebu untuk tim kesayangannya, pun berlaku seakan hendak mengirimkan teror neraka dengan agitasi dan cemoohannya pada para pemain lawan.


Fenomena yang kurang lebih sama dari beberapa pertandingan bertema derby juga terjadi dalam pekan yang sama, yaitu derby Sofia antara Lokomotif vs. CSKA Sofia (Bulgaria), derby Belgrade Partizan vs. Crvena Zvezda di Belgrade (Serbia) dan salah satu yang termasyhur adalah derby Glasgow atau Old Firm di Stadion Ibrox Park yang mempertemukan Glasgow Rangers melawan Glasgow Celtic yang seperti halnya derby Merseyside berakhir dengan skor 1-0 juga letupan emosi di sana sini.

Di pelbagai liga dunia terdapat sedikitnya puluhan pertandingan dengan tajuk derby. Seperti halnya derby Merseyside dan Old Firm, situasi derby lainnya bersituasi nyaris seragam. Meski pelakunya tak selalu seimbang dari segi prestasi dan reputasi, pertandingan derby tetap memberi garansi akan hadirnya laga bertensi tinggi. Setiap derby memiliki daya tarik alias magnet bagi setiap pecinta sepakbola dunia. Pun menjadi tema laris yang disukai oleh media massa baik lokal, nasional maupun internasional. Betapa derby telah menjadi peristiwa penting dalam jagat sepakbola seperti halnya big match dan final kejuaraan.

Dur-bee, dar-bee & Derby: Dalam Tinjauan Sejarah
Derby, yang dilafalkan 'dur-bee' dalam American English dan 'dar-bee' dalam British English, di benak banyak orang terlanjur dimaknai sebagai pertandingan olahraga, khususnya sepakbola, antara dua tim dalam lingkup geografis (kota atau daerah) yang sama. Meski demikian, persaingan klasik antara dua klub satu negara seperti Internazionale-Juventus, Paris St. Germain-Olympique Marseille, Ajax Amsterdam-Feyenoord, dan Real Madrid-Barcelona pun terkadang dikategorikan sebagai pertandingan derby.

Kenyataannya memang tak mudah untuk menemukan definisi derby yang perbawa. Berbagai sumber yang hendak diacu menawarkan perspektif yang amat beragam. Banyak diantaranya tak berkaitan dengan tema pertandingan sepakbola, referensi yang mengkonfirmasi makna seperti yang telah diyakini oleh khalayak umum pun menjadi sulit dijumpai. Definisi yang berlaku saat ini lebih sebagai tafsir atas asal usul kata derby.

Dari sekian banyak kemungkinan teori yang berkembang, terdapat teori yang lebih dapat diterima. Kata derby konon berasal dari kontes tahunan pertandingan sepakbola kolosal bertajuk Royal Shrovetide Football di kota Ashbourne di Derbyshire. Dua tim dari dua bagian kota Ashbourne yang dipisahkan oleh Sungai Henmore Brook bertanding untuk menjadi yang terbaik di kontes ini. Dua tim yang bertanding yaitu, tim Up’Ards yang berasal dari sisi utara sungai dan tim Down’Ards dari sisi selatan sungai. Dari kontes di Derbyshire itulah kemudian menjadi inspirasi bagi penamaan pertandingan sepakbola antar tim satu daerah.

Dari Rivalitas Sektarian hingga Politik
Derby bukanlah sekadar pertandingan untuk meraup nilai penuh dan memperebutkan posisi yang lebih tinggi dalam bingkai kompetisi Liga maupun perebutan piala. Merujuk pada sekian banyak fakta, bagi para pelakunya derby menjadi hal yang lebih penting daripada gelar juara itu sendiri. Bahkan suatu waktu ada yang menyebutnya lebih penting daripada final Piala Dunia!

Tak ayal setiap derby memiliki atmosfer lebih panas dan lebih menegangkan dari pertandingan biasa. Pada beberapa derby, sumber ketegangan itu bisa berupa rivalitas politik dan sektarian dari komponen klub hingga para pendukungnya. Dalam hal ini pertandingan sepakbola menjadi media lanjutan atas rivalitas dan atau konflik yang sudah ada sebelumnya di masyarakat.

Seperti yang terjadi pada derby Glasgow Old Firm antara dua tim terkemuka dan paling sukses di Skotlandia. Dengan intensitas pertemuan hingga lebih dari empat kali di Liga Utama Skotlandia, derby Old Firm dianggap sebagai derby terbesar sepanjang sejarah olahraga. Namun derby ini tak sekadar rivalitas sederhana antar tim sepakbola dalam wadah satu liga namun kompetisi yang disarati dengan serangkaian perselisihan yang kompleks diantaranya berakar pada perbedaan agama dan perbedaan relasi politik. Pertandingan antar tim satu kota Glasgow ini menjadi medium lain penyaluran tribalisme purba yaitu konflik disertai kekerasan antara Katolik dengan gerakan Reformasi Protestan dan perbedaan relasi politik Loyalis-Republikan.

Glasgow Celtic yang berdiri tahun 1888 dibentuk untuk membendung pengaruh zending Protestan sekaligus memupus mitos inferioritas Katolik terhadap Protestan. Demi melihat kesuksesan Celtic di liga, umat Protestan pun merasa perlu untuk menguasai kembali kompetisi di negara itu. Glasgow Rangers yang sejatinya tidak cukup memiliki maksud-maksud religius dan politik namun menang berulang kali terhadap Celtic akhirnya menjadi kendaraan bagi kaum Protestan Skotlandia dalam menyalurkan aspirasi religius dan politiknya.

Setiap hasil pertandingan mereka menjadi bahan bakar yang semakin melestarikan permusuhan dan kebencian dari perang antar agama yang telah terjadi berabad-abad sebelumnya. Derby ini sekaligus mempertemukan suporter Celtics “Tims” yang merupakan kombinasi dari nama geng Katolik yang menyebut dirinya Tim Malloys dan The Calton dengan pendukung Rangers yang menyebut dirinya Billy Boys. Billy Boys adalah geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow antara Perang Dunia Pertama dan Kedua. Pada tahun 1920-an, Billy Boys mendirikan cabang lokal Ku Klux Klan. Nama Billy sendiri diambil dari nama pendiri geng yaitu Billy Fullerton.

Tak heran apabila di stadion bermunculan simbol-simbol dan nyanyian yang menunjukkan fanatisme religius mereka dan kebencian etnis. Selain mempertentangkan antara Katolik dan Protestan juga sentiment Loyalis Inggris dan Republikan Irlandia Utara. Rangers yang loyalis pada imperium Inggris Raya dan Celtic identik dengan teroris gerilyawan IRA dengan cita-cita Republik Irlandia. Tak heran bila muncul banyak warna di arena pertandingan yaitu biru royalis warna khas bangsawan Inggris, oranye Ulster yang identik dengan William of Orange, dan hijau Irlandia.

Rivalitas penuh kebencian yang telah berumur tua sejatinya hendak dikurangi tensinya oleh kedua klub dengan bekerjasama dengan Parlemen, kelompok-kelompok gereja, dan organisasi komunitas. Meskipun belum tercapai kesepakatan pada jenis lagu dan bendera yang boleh digunakan, sedikitnya telah terdapat kemajuan. Terhitung sejak tahun 1996 Celtic meluncurkan kampanye Bhoys Against Bigotry yang kemudian dilanjutkan dengan kampanye Youth Against Bigotry dengan pesan moral "educate the young on having ... respect for all aspects of the community - all races, all colours, all creeds.” Di tahun 2003 Rangers menyusul dengan meluncurkan kampanye anti-sektarian yang bertajuk Pride Over Prejudice yang sekarang telah berganti nama Follow With Pride. Bahkan pada 9 Juni 2006, Rangers bersama dengan perwakilan beberapa kelompok suporter mengumumkan akan mematuhi tiga perintah UEFA yang salah satu diantaranya melarang dengan keras lagu-lagu anti-sektarian.
(bersambung…)

0 comments: