APBD dan Mentalitas Korup

, , No Comments


Liga Primer Indonesia (LPI) nyata bergulir, bahkan sudah tiga pekan berjalan. Kompetisi yang oleh pengurus PSSI dianggap liar dan illegal ini sukses merubah pikiran tiga klub peserta ISL untuk bergabung. Bahkan konon saat ini ada beberapa klub ISL lain yang mengantri untuk ikut bergabung. Kita tentunya penasaran “gula-gula” apakah yang ditawarkan LPI sehingga membuat klub-klub itu pindah jalur ke kompetisi bertagline Change the Game ini?


Selain tawaran konsep kompetisi yang lebih jujur (fair) tanpa gangguan faktor non-teknis, LPI juga bervisi profesionalisme dan kemandirian sepak bola Indonesia. Dua hal tersebut menunjukkan bahwa ide kompetisi ini adalah menjadi anti-tesis dari kompetisi yang telah ada sebelumnya, Kompetisi yang dikelola oleh otoritas tertinggi sepak bola tanah air. Kompetisi yang seakan krisis kredibilitas dan penuh ketergantungan pada uang rakyat (APBD) untuk pembiayaan klub-klub pesertanya.

Merekrut pemain dan pelatih berkualitas nan berharga mahal untuk kemudian menjadikannya satu kesatuan tim yang solid dan berpenampilan bagus namun pada akhirnya hanya untuk “dikalahkan” oleh berbagai faktor non-teknis, telak-telak menampar rasa keadilan. Sebab ongkos untuk semua itu diambilkan dari uang rakyat. Belum lagi adanya indikasi mark-up anggaran pada beberapa transfer pemain, makin menguatkan tuntutan penghentian penggunaan APBD.

Selama ini, penggunaan dana APBD oleh klub sepak bola merupakan salah satu polemik yang membelenggu sepak bola nasional. Berbagai aturan kemudian dibuat untuk tujuan melarang penggunaan APBD oleh klub-klub sepakbola. Namun pelarangan itu gagal memberi solusi bahkan yang terjadi kemudian adalah klub makin liar dalam menjarahrayah APBD-nya. Aturan-aturan seperti Permendagri Nomor 13/2006 yang kemudian perubahannya pada Permendagri Nomor 59/2007 dan yang terakhir Permendagri No.59/2010 yang dikeluarkan oleh tiga sosok yang berbeda lebih seperti aturan yang saling menganulir. Semua terkesan reaktif dan dipaksakan.

Terlepas dari dilarang atau tidaknya APBD, ada hal penting lainnya yang luput dari perhatian kita, yakni soal akuntabilitas dan transparansi keuangan. Dengan akuntabilitas dan transparansi keuangan klub maka bisa didapatkan data rata-rata kebutuhan dana setiap klub per musim. Sekaligus membuka kesempatan bagi klub dengan dana yang beranggaran kecil membuat kejutan prestasi. Akuntabilitas dan transparansi keuangan memungkinkan pihak lain terutama suporternya mengerti kondisi klubnya. Sekaligus bahan untuk menilai kinerja direksi dan manajemen suatu klub. Maka, APBD atau subsidi model LPI adalah sama saja. Yang penting adalah akuntabilitas dan transparansi.

0 comments: