In Memoriam drg. Endang Witarsa

, , 5 comments

Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman yang baru saja menyelesaikan aktivitas pengumpulan data baik primer maupun sekunder untuk kepentingan tugas akhirnya di klub Union Makes Strength (UMS) 80 Jakarta. UMS 80 atau yang lebih sering disebut UMS saja adalah perkumpulan olahraga tertua di Indonesia. Klub yang awalnya bernama Tiong Hoa Hwee Koan Scholar's Football Club ini berdiri pada tahun 1905 dan berganti nama Union Makes Strength pada tahun 1914.



Dalam pertemuan itu, saya iseng menanyakan apakah selama di UMS sempat berjumpa dengan drg. Endang Witarsa yakni Ketua Umum Yayasan POR UMS dan pelatih Sepakbola POR UMS. Pada akhirnya, teman saya itu mungkin bakal menyesali kegagalannya bertemu dengan beliau. Sebab pada hari Rabu lalu, 2 April 2008, pukul 04.30 WIB drg. Endang Witarsa meninggal dunia di Rumah Sakit Pluit, Jakarta, setelah sempat dirawat selama tiga pekan sejak 10 Maret lalu. Dan dunia sepak bola Indonesia pun kehilangan salah satu putra terbaiknya.

Dokter, Oom atau Opa Endang, sapaan akrab beliau, meninggalkan dua orang putra, dua putri, 12 cucu, dan tujuh cicit. Sementara sang isteri Kartika Sulindro telah lebih dulu menghadap Yang Maha Kuasa dua tahun lalu. Jenasah disemayamkan di Rumah Duka RS Dharmais, Jl S Parman Jakarta Barat, ruang D-F, dan akan dikremasi di Oasis Lestari, Tangerang, Banten, pada Minggu, 6 April.

Jejak Langkah Sang Legenda
Drg. Endang Witarsa yang dilahirkan di Kebumen pada tanggal 4 Oktober 1916 dengan nama Liem Soen Joe adalah bungsu dari sembilan bersaudara. Setelah menyelesaikan pendidikan MULO dan HBS di Kebumen, Endang muda sempat bimbang dihadapkan pada pilihan antara STOVIA Jakarta atau STOVIA Surabaya untuk kuliah kedokteran gigi. Akhirnya, beliau memilih yang kedua dengan alasan "podo jawane". Pada tahun 1941, setelah meraih gelar dokter gigi, ia menikahi rekan sekelasnya, Kartika Sulindro, yang berusia dua tahun lebih tua.

Karir sebagai pemain dimulai dengan bergabung dengan klub di Kebumen tempat asalnya. Saat di Malang, Endang Witarsa sempat mencicipi rasanya menjadi pemain Persema Malang. Belum begitu lama di Malang, beliau lalu pindah ke Jakarta karena tugas dan menjadi pemain Klub UMS pada tahun 1948 sebagai gelandang.

Pada 1951, setelah gantung sepatu, karir gemilangnya sebagai pelatih pun dimulai dengan klub pertamanya yaitu UMS. Sepuluh tahun kemudian beliau melatih tim Macan Kemayoran, Persija Jakarta, sampai tahun 1966. Bimbingan dan polesannya berbuah prestasi besar yakni membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1964 dengan PSM Makassar sebagai runner-up.

Kiprah panjang nan sukses sebagai pelatih tim nasional berawal dari tim PSSI Junior pada tahun 1965. Selama tiga tahun, dari tahun 1967 sampai tahun 1970, terjadi rangkap tugas yakni melatih tim nasional Junior dan Senior sekaligus. Setelah itu, fokus dan perhatiannya hanya untuk tim nasional Senior saja. Pengabdiannya di timnas Senior baru paripurna di tahun 1980. Selama kurang lebih 13 tahun kepemimpinannya, tim nasional menjuarai sejumlah event internasional. Diantaranya yakni juara Aga Khan Cup di Dacca, Pakistan (1967), Merdeka Games di Kuala Lumpur 1969, Kings Cup di Bangkok Thailand 1970, Anniversary Cup III di Jakarta 1972, Pesta Sukan di Singapura (1972), dan President Cup di Korea (1973).

Endang Witarsa tak hanya memproduksi sederet prestasi bagi timnas namun juga telah melahirkan puluhan pemain bagus yang jadi pilar tim nasional dekade 1960-an sampai 1990-an. Berikut adalah beberapa nama besar dalam dunia sepak bola tanah air yang pernah ditanganinya, seperti Anwar Ujang, Djamiat Dalhar, Thio Him Tjiang, Peng Hong, Kwi Kiat Sek, Thio Him Toen, Alai, Soetjipto Soentoro, M Basri, Ronny Paslah, Yakob Sihasale, Abdul Kadir, Risdianto, Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Surya Lesmana, Wahyu Hidayat, Gunawan, Bambang Sunarto, Yuswardi, Yusak Susanto, Sinyo Aliandoe, Yudo Hadianto, Reny Salaki, Arjuna Rinaldi, Warta Kusumah, Widodo C.Putra, termasuk pelatih timnas Senior saat ini Benny Dollo.

Selain merasakan kerasnya kompetisi Perserikatan, Opa Endang juga sempat menjajal atmosfer kompetisi semi-profesional Liga Sepak bola Utama (Galatama) melalui klub Warna Agung. Ketika Warna Agung bubar pada 1980-an, beliau pun kembali ke lapangan Petaksinkian untuk melatih tim UMS 80 hingga akhir hayatnya.

Pengabdian panjangnya pada sepak bola berbuah dua penghargaan sekaligus dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pelatih terlama (55 tahun) dan tertua (90 tahun), 21 Januari 2007 silam. Opa Endang juga mendapat penghargaan Lifetime Achievement Award versi Antv Sport Award (ASA), Fair Play Award dari Jawa Pos Group serta anugerah Lifetime Achievement Award dari Sampoerna di ajang Bintang Emas Copa Dji Sam Soe Indonesia 2007 di hotel Mulia, Jakarta, 19 Februari 2008 lalu.

Everything a Man should be
Menengok sepak terjangnya, Opa Endang adalah sosok hebat dan nama penting di dunia sepak bola Indonesia. Tak hanya karena sumbangan prestasinya yang gemilang sebagai pelatih tim nasional di akhir tahun 1960-an sampai awal 1980-an, namun juga karena dedikasi dan rasa cintanya yang luar biasa besar pada sepakbola. Cinta yang diwujudkan dengan pengabdian dan pengorbanan total untuk sepak bola hingga akhir hayatnya.

Opa Endang menjatuhkan pilihan hidup pada sepak bola untuk kemudian mengabdikan seluruh hidupnya bagi sepak bola Indonesia. Beliau telah mendarmabaktikan 80 tahun dari 92 tahun usianya sepenuhnya untuk sepak bola. Mulai dari menjadi pemain di tingkat klub di Kebumen tempat asalnya. Terus meningkat menjadi pemain bonden di Malang, Surabaya hingga ke Bandung dan Jakarta. Merintis karir pelatih di UMS hingga menuai prestasi cemerlang sebagai pelatih tim nasional. Saat fisiknya tak lagi kuat untuk menopang tubuhnya, beliau tak surut langkah untuk tetap datang ke lapangan Petaksinkian mendampingi para pemainnya.

Torehan emas prestasi tim nasional hadir berkat pendekatan ideal Opa Endang sebagai pelatih. Opa adalah sosok yang sangat tekun dan fokus terhadap pekerjaannya sebagai seorang pelatih sepak bola. Beliau dikenal keras, disiplin tinggi tanpa kompromi, dan sering memarahi pemain yang tidak menjalankan instruksinya atau tidak punya inisiatif atau terlambat datang di tempat latihan. Tidak banyak pemain yang tahan menghadapi omelan Opa Endang. Namun bagi yang mengerti, kecerewetan itu adalah demi kebaikan bersama, demi kejayaan tim.

Beliau pun tidak mengambil sepeser pun keuntungan materi dari sepak bola, bahkan telah menghabiskan uang untuk sepak bola. Simak komentarnya “Saya dulu kaya raya, sepulang dari sekolah di Amerika Serikat, saya buka praktek, banyak duit, tapi saya pasti sudah mati. Mending sekarang, saya kere, melarat, tapi hidup saya bahagia” Padahal, ketika itu, profesi dokter termasuk dokter gigi adalah profesi yang sangat banyak diminati di Indonesia. Sulit mencari tokoh sekaliber Opa Endang yang mau mengabdi tanpa pamrih yang banyak justru kaum oportunis yang hendak mencari kekayaan dan kejayaan pribadi dari sepak bola.

Kehadirannya ke ajang ' Bintang Emas Copa Dji Sam Soe Indonesia 2007' di hotel Mulia, Jakarta adalah bukti sahih tentang perhatiannya pada perkembangan sepak bola nasional. Meskipun harus dipapah oleh mantan anak-anak didiknya seperti Ronny Paslah dan Judo Hadianto. Usai menerima penghargaan, beliau menyempatkan diri untuk menyampaikan pesan kepada para pemain sepak bola Indonesia. "Terima kasih. Saya harap pemain sekarang lebih kuat main bolanya. Jangan hanya pelesiran. Main bola..., main bola..., main bola. Thank you,"

Kita pun merasakan sebuah kehilangan besar, ditinggalkan oleh tokoh yang tanpa publisitas berlebih telah mengisi urat nadi persepakbolaan nasional. Sosok yang lahir dari sepak bola, hidup untuk sepak bola, dan meninggal demi sepak bola. Selamat jalan drg. Endang Witarsa. Damailah di sisi-Nya.

5 comments:

Revina mengatakan...

Tidak banyak yang diketahui oleh masyarakat seberapa 'pengorbanan' yang telah diberikan oleh opa Endang dan keluarganya, untuk yang namanya 'SEPAK BOLA (INDONESIA) '. Namun biarlah itu menjadi kenangan yang indah dan sangat berharga bagi keluarga, kerabat dan generasi muda.
Selamat jalan Opa, : keteguhan, pengabdian, dan pengorbanan opa akan jadi panutan dan kebanggaan tersendiri bagi generasi berikutnya. Dan semoga di bumi Indonesia ini akan terlahir Endang Witarsa yang lain, untuk mengharumkan nama bangsa. Amin.

Kristina Dian Safitry mengatakan...

apa? 12 cucu? banyak kali...

btw, aku bangga atas perjuanganya meski lom pernah kenal beliau..

Unknown mengatakan...

Yang ikut berduka bole tinggalkan pesan.

http://ourmemoryof.com/endangwitarsa/condolences/

Anonim mengatakan...

Saya masih SD saat baca UMS 80. Saya sendiri arek Suroboyo, pendukung NIAC MITRA. Yang menarik dari UMS itu kostumnya yg kayak Argentina, dan kalo derby Stadion Menteng antara Bintang Timur lawan UMS menarik karena sama2 banyak pemain Maluku. UMS tim bagus meski cuma punya beberapa pemain nasional macam Nasir Salassa, Chris Wakano .
Ahmed Shahi Kusuma

Unknown mengatakan...

ada Samsul Suryono, pemain Persija
yang dibawa oleh Didi Kasmara.