Drama

, , No Comments
football-italia.net

Dua puluh tahun silam, di sebuah kamar sempit. Seorang bocah duduk dengan pikiran bingung. Pandangannya kerap berganti antara tumpukan poster pemain sepakbola dan dinding kamar yang (ternyata) sudah penuh dengan gambar sejenis. Ada empat sisi dinding semen salah satunya penuh tertutup lemari lebar, tiga sisi lainnya separuh ke atas sudah terisi gambar. Beberapa saat kemudian, dia sibuk mematut-matutkan poster yang baru dibelinya pedagang kaki lima di pasar itu di dinding. Sejumlah poster lawas kemudian dilepas untuk memberi tempat pada “pemain” baru.



Empat tahun kemudian, masih bocah yang sama. Dia menangis tergugu sambil menelungkupkan wajahnya di kursi panjang tempatnya menonton pertandingan sepak bola subuh itu. Beberapa menit yang lalu, seorang pria berambut ekor kuda berseragam biru baru saja menendang bola tinggi di atas mistar gawang sekaligus melayangkan harapan jutaan orang terbang yang tak bisa diraih lagi. Bapaknya hanya menyuruhnya untuk segera sholat Subuh. Sepertinya beliau cukup paham dengan kegalauan yang dirasakan anaknya, seperti halnya dia resah mendapati Mike Tyson terjengkang dan terampas gelar juara dunia sejatinya oleh James “Buster” Douglas.

Empat dan lima tahun yang lalu, bocah yang sudah beranjak dewasa itu baru bisa merasakan rasa bungah yang membuncah dan perasaan lain yang membuat hatinya tidak keruan. Dia nyaris menangis namun upaya membendung tangis itu hanya menambah rasa sesak di dadanya. Moment Istanbul 2005 dan Berlin 2006 membayar penantian yang hampir tak berujung akan prestasi gilang gemilang klub dan tim yang digemarinya.

Pada suatu kesempatan waktu, meski urung menyaksikan kemenangan, dia menemui sensasi yang kadarnya mengungguli dua moment final itu. Di sebuah stadion raksasa kebanggaan bangsa ini, menjadi saksi perjuangan pemain-pemain pilihan yang mewakili harapan rakyat nusantara. Sejak dari lagu kebangsaan dinyanyikan, kebanggaan sebagai warga bangsa membumbung tinggi. Histeria kegembiraan oleh gol pemain kita, kekecewaan mendalam karena jebolnya gawang tim nasional. Juga penghormatan yang tulus pada perjuangan yang telah dilakukan para pemain di atas rumput hijau. Setiap pertandingannya yang tidak mungkin dinikmati dengan duduk tenang diam.

Bebarapa malam terakhir si bocah dewasa mendapat kesempatan untuk melihat gambaran dirinya sebagai pecinta dan suporter sepak bola. Tangisan Fabio Quagliarella, luap kemarahan Ronaldo, wajah pilu Kaka, ratapan penuh penyesalan dari Asamoah Gyan dan Oscar Cardozo serta kegembiraan David Villa membeberkan bukti bahwa sepak bola, teristimewa Piala Dunia memang luar biasa. Ujaran Bill Shankly di masa lalu menjadi sangat relevan, “Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it's much more serious than that.”

Setiap kejayaan di ajang apapun membawa pemain dan pendukungnya melambung ke puncak dunia. Setiap kekalahan menggiring seluruh elemen tim serta suporternya pada hari-hari penuh kesedihan. Roberto Baggio ingin menghapus kenangan pada siang hari Juli 1994 di Stadion Rose Bowl dari hidupnya. Lalu David Trezeguet memandang kejadian di Berlin 2006 sebagai satu malam laknat. Sedang bagi beberapa pendukungnya yang over identity kekalahan di dua final Piala Dunia itu adalah alasan untuk frustasi atau bahkan untuk menyakiti hidupnya dengan depresi.

Sebuah keniscayaan apabila kekalahan cenderung dibenci. Efek kekalahan bisa menyebabkan rusaknya mood, patah semangat, hilangnya kepercayaan diri, intinya menyebabkan ketidaknyamanan baik lahir maupun batin. Derajat kerusakan yang ditimbulkan bisa berbeda-beda menilik pada momentum dan proses kekalahannya. Leburnya Jepang di perdelapan final bisa jadi tidak setragis kekalahan Italia dari Slovakia yang membenamkannya ke dasar klasemen. Apa yang dialami Ghana dari Uruguay mestilah berbeda kadarnya dengan kekalahan Korea Utara dari Brasil.

Hidup begitu banyak menyediakan kemungkinan. Pun ada banyak kemungkinan menyikapi kekalahan dan kemenangan. Seseorang atau tim bisa saja lebih memilih merasa bersalah lalu sedih dan putus asa atau tegar mencoba koreksi diri dengan tetap memelihara harapan ke depan. Saat menang boleh saja si pemenang merasa jumawa dan puas dengan hasil itu alih-alih mencoba tetap menjejakkan kakinya di bumi dan tetap focus dengan agenda-agenda selanjutnya. Hal yang sama juga berlaku bagi pendukungnya. Apakah mencerca atau justru tetap menghargai dan membesarkan hati seluruh elemen tim yang didukungnya di saat hasil menunjukkan mereka kalah.

Saat ini, saya mulai sedikit mengerti tentang nikmat kemenangan dan sakitnya kekalahan setidaknya saya pernah mengalaminya baik sebagai pemain maupun pendukung. Sepakbola tak sekadar urusan remeh temeh apabila melihat dari persiapan sebelum bertanding, perjuangan di atas lapangan dan penyikapan atas hasil pertandingannya serta bagaimana keseharian sepakbola diperlakukan. Hanya saja saya masih belum mengerti tentang kekalahan yang terkadang justru dicari dan diupayakan untuk mengeliminasi kompetitor lainnya. Sebuah praktik yang lazim disebut sepak bola gajah. Juga tentang kebiasaan kekerasan yang tak kunjung selesai yang mengekori setiap hasil pertandingan meski bukan pihak yang kalah. Sama tidak mengertinya dengan iklan Liga Super kita yang dilakonkan oleh aneka margasatwa.

0 comments: