Ellis Park

, , 1 comment
Ellis Park Stadium, Afrika Selatan

(Tulisan ini dimuat di Tabloid Bola edisi Senin 19 Juli 2010, kolom Feature hlm 12, dengan judul Hikmah Lukisan Afrika Selatan)

Jika diumpamakan lukisan, Piala Dunia 2010 seperti baru saja memulaskan warna terakhirnya. La Furia Roja Spanyol dan Oranje Belanda adalah salah satu warna dominan pada the greatest show on earth kali ini. Orientasi pada kemenangan dan ikhtiar bermain cantik telah membawa mereka ke stadion Soccer City, Johannesburg. Di Final pertamanya, Spanyol akhirnya menjadi juara baru. Negara pertama dari benua Eropa yang juara di luar benuanya. Setelah drama lapangan hijau berdurasi 120 menit lebih berlalu, terlihatlah wajah-wajah cerah Iker Casillas cum suis. Kegembiraan massif juga meledak di Madrid dan kota-kota lain di seluruh dunia juga di Indonesia, maka sebuah selebrasi global sedang terjadi. Arjun Appadurai dalam bukunya Modernity at Large: Cultural Dimension of Globalization, menjelaskan fenomena selebrasi transnasional ini disebut ideoscapes. Salah satu dari lima arus global yaitu dimensi interkoneksi yang menembus ruang dan waktu dalam hal etnis, teknologi, keuangan, media, dan ideologi. Pesta pun tak sungkan digelar di Catalonia, wilayah yang getol ingin memisahkan diri dari Spanyol.

Sedikit ironi terjadi. Spanyol dengan pengaruh kuat Barcelona memainkan sepakbola total football untuk mengalahkan founder total Football Belanda. Keyakinan para punggawa de oranje bahwa permainan indah totaal voetbal tidak akan pernah membawa mereka menjadi Juara dunia berbuah menjadi kenyataan. Bukan karena mereka memainkannya seperti saat Final 1974 dan 1978 justru karena mereka sengaja memilih untuk menanggalkannya. Totaal voetbal sebagai salah satu varian sepakbola indah tak lagi dianggap oleh Bert van Marwijk. Menurutnya totaal voetbal sudah usang, tidak lagi relevan diterapkan saat ini. Arjen Robben pun dengan tegas mengamininya. Kini, semua terjawab sudah. Permainan indah ala total football telah memupus mimpi Belanda.

Piala Dunia 2010 pun resmi berakhir. Selama sebulan kita sudah disuguhi pertandingan-pertandingan dengan beragam hasil. Apa yang coba direka di atas kertas kerap berbeda dengan yang ada di atas lapangan. Kejutan dan kontroversi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari suatu kompetisi. Tersisihnya para juara dunia seperti Italia, Prancis, Inggris, Brasil dan Argentina serta kembali moncernya kekuatan masa lalu, Uruguay. Keputusan-keputusan yang memunculkan kontroversi dari para pengadil pertandingan semacam yang dibuat oleh Jorge Larrionda dan Roberto Rosetti. Melejitnya bintang-bintang baru seperti Thomas Mueller yang pada Piala Dunia pertamanya ini langsung sukses membawa dua penghargaan pribadi yakni Golden Boot dan Best Young Player, disaat beberapa sosok popular lainnya justru gagal memenuhi gadang-gadang banyak pihak.

Namun dalam kanvas besar Piala Dunia 2010, tak hanya berupa gambaran pelangi kompetisi yang menonjol. Salah satu diantara warna cerah itu diantaranya justru ada jauh di luar Afrika yaitu Paul si Gurita. Aktivitas memilih makanannya telah dijadikan sebagai ritual meramal calon pemenang pertandingan dan disiarkan langsung sebagai acara televisi. Paul sukses memprediksi dengan benar semua pertandingan Jerman termasuk dua kekalahan dari Serbia dan Spanyol. Dan pertandingan perebutan tempat ketiga dan final pun lagi-lagi benar diramalnya. Ada rumah judi yang kemudian mengagumi kemampuannya, tentunya tak sedikit yang tidak suka dengan ramalannya yang dianggap telah menjadi penyebab kekalahan tim kesayangan mereka.

Kemudian ada vuvuzela yang telah menjadi piranti bagi budaya baru menonton di stadion, setidaknya di Afrika Selatan. Deru suara dan aneka rupa bentuknya setara penemuan taburan confetti, dan gerakan Mexican Wave oleh penonton. Meski oleh beberapa pihak dianggap mengganggu, amat mungkin di kemudian hari Vuvuzela akan menyebar ke seluruh dunia untuk kemudian eksis sebagai salah satu alat dan aksesori untuk menyuporteri seperti tambur, banner raksasa, bendera, scarf, kembang api dan lainnya.

Dan ada satu warna yang tak bisa kita abaikan yakni bagaimana sebuah event olahraga level dunia digelar. Hingga tuntasnya hajatan, penyelenggara layak dianggap sukses melaksanakan perhelatan pesta bola itu. Selain melaksanakan semua prosesi dari pra hingga pasca pertandingan sesuai dengan standar yang paling baik. Panitia juga berhasil menjawab kekhawatiran sebagian pihak terutama soal potensi kerusuhan. Ada beberapa tesis yang diapungkan perihal besarnya potensi kerusuhan itu akan terjadi. Seperti tingginya tingkat kriminalitas di Afrika Selatan, kemungkinan lanjutan dari aksi pemogokan para pekerja stadion, dan catatan panjang bencana dalam stadion di negara-negara benua Afrika.

Negara-negara benua Afrika memang tercatat banyak sekali menyumbang peristiwa bencana dalam stadion. Dalam sepuluh tahun terakhir, sedikitnya terdapat delapan bencana besar yang mengakibatkan hilangnya nyawa terjadi di Afrika. Frekuensinya yang begitu kerap menjadikan bencana dalam stadion sebagai sesuatu yang sangat biasa di benua Afrika. Di Afrika Selatan sendiri tercatat ada tiga bencana besar yang pernah terjadi. Pada 13 Januari 1991: Orkney di Johannesburg Selatan, sedikitnya 42 orang tewas saat terjadi kekacauan akibat orang-orang yang panik menghindari perkelahian yang pecah di tribun penonton. Selang tujuh tahun kemudian dengan mengambil tempat kejadian di Stadion Ellis Park, terjadi keributan saat derby Johannesburg antara Kaizer Chiefs dengan Orlando Pirates. Pihak keamanan menggunakan peluru karet dan gas air mata saat membubarkan massa yang terus memaksa untuk membeli tiket. Namun yang terburuk adalah bencana 11 April 2001, sekaligus tercatat sebagai bencana terburuk dalam sejarah olahraga Afrika Selatan. Lagi-lagi terjadi saat derbi Johannesburg di Stadion Ellis Park. Tercatat 43 orang tewas dan lebih dari 150 orang terluka karena massa yang terus memaksa masuk ke stadion yang sudah berisi penuh penonton.

Dengan “tradisi” bencana dan kurangnya pembelajaran pada masa lalu membuat masyarakat sepakbola khawatir. Dalam The Ellis Park Stadium Soccer Disaster Interim Report, disebutkan diantaranya bahwa organisasi pengamanan di Afrika Selatan sangat kompeten dan berpengalaman dalam melaksanakan system manajemen kerumunan yang aman. Konser, festival dan pertandingan kriket skala internasional telah berlangsung sepanjang waktu dan berlangsung aman. Pada saat terjadi bencana 11 April 2001 yang menjadi penyebab adalah adanya unsur pengabaian. Termasuk pengabaian pada petunjuk pertandingan dari FIFA dan South Africa Football Association (SAFA).

Sembilan tahun setelah kejadian Ellis Park, Afrika Selatan sukses membayar kepercayaan FIFA. Mereka melakukan retrospeksi dan introspeksi. Belajar pada pengalaman kelam masa lalu dan koreksi diri atas kekalahan dalam proses bidding menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006. Sekaligus menyelaraskan pikiran dan hati para stakeholder sepakbola di negara tersebut. Kini, Piala Dunia usai sudah. Pengurus PSSI yang “belajar” menonton Piala Dunia pun sudah pulang. Pelajaran dan hikmah apa yang bisa mereka petik untuk kemudian dipraktikkan demi kemajuan sepakbola negeri ini. Kiranya niat sungguh-sungguh untuk retrospeksi dan introspeksi saja sudah lebih dari cukup untuk ditiru.

1 comments:

Anonim mengatakan...

kapan inndeonsia jadi negara cinta damai


watch vampire diaries online