Sudamericana

, , 1 comment


Sebagai hajatan yang disemati title the greatest show on earth, mestilah banyak hal unik menarik yang bisa kita simak. Sejak momentum penunjukan oleh FIFA, persiapan baik infrastruktur, seremoni pembukaan hingga akhirnya nanti saat seorang dengan berbalut ban kapten mengangkat trophy hasil karya Silvio Gazzaniga adalah rangkaian cerita-cerita kecil yang akan membentuk narasi besar Piala Dunia pertama di benua Afrika. Dan kini, hingga selesainya fase 16 besar, pesta sepak bola itu diantaranya sudah berkisah tentang tiga juara dunia yang tersingkir dari ajang ini. Italia dan Prancis yang masing-masing datang sebagai finalis Piala Dunia edisi ke-18 dipaksa angkat koper pagi-pagi dengan status juru kunci di grupnya masing-masing. Sedangkan juara dunia 1966, Inggris, remuk oleh tim Panzer Jerman pada fase 16 besar.



Kegagalan ketiga negara itu adalah sebuah tragedi, seperti yang dijelaskan Pramoedya Ananta Toer, suatu usaha tanpa cita-cita. Sebagai tim, mereka datang dan bertanding tanpa hasrat yang kuat, tak lagi lapar gelar. Seorang kapten tim Ayam Jago menuduh ada pengkhianat dalam timnya. Mantan kapten Tiga Singa menilai pelatihnya salah dalam memilih pemain. Sedangkan pemain muda Gli Azzurri menyalahkan kinerja rekannya di lini depan. Dalam tubuh tiga tim nasional tersebut dipenuhi syak wasangka dan ego perseorangan maupun kelompok yang berujung tak lekatnya lagi lem-lem solidaritas antar pemain, pelatih dan perangkat tim lainnya. Kinerja beberapa wasit yang memang menjadi sorotan, telah gagal dijadikan bahan pledoi, apalagi jabulani dan vuvuzela.

Eropa atau UEFA pun lantas khawatir dengan kenyataan tersebut. Saat konfederasi sepakbola lain juga mulai kehabisan wakil-wakilnya seperti yang dialami AFC dan CONCACAF dan benua tuan rumah yang tinggal menyisakan The Black Stars, Ghana. Eropa jelas merasa paling tertohok. Dengan wakil terbanyak, 13 negara, sekarang ini hanya tinggal tersisa 3 yang ironisnya langsung head to head dengan para wakil Amerika Latin. Amerika Latin atau CONMEBOL sampai sejauh ini merupakan konfederasi paling sukses. Kelima wakilnya lolos ke babak 16 besar, dan hanya karena sudah terlanjur ada bentrok sesama Amerika Latin di 16 besar maka jumlah representasi mereka di perempat final nanti menjadi “cuma” empat tim.

Dalam konteks rivalitas Eropa-Amerika Latin, kandasnya tiga juara dunia ini jelas merugikan. Sebab Piala Dunia di benua netral ini punya makna penting bagi Eropa. Jika salah satu wakilnya juara, maka Eropa akan unggul jumlah koleksi gelar dengan perbandingan 10:9 gelar. Sekaligus menipiskan kekalahan dalam hal juara dunia saat piala dunia digelar di luar konfederasinya. Kedudukan saat ini 2-0 hasil dari keberhasilan Brasil menjadi juara di Swedia dan Korea Selatan-Jepang. Apabila penyelenggaraan di Mexico dan USA dihitung netral, maka rasionya akan semakin njomplang sebab ketiga edisi piala dunia itu menghasilkan juara yang semuanya dari Amerika Latin.

Modal Amerika Latin untuk unggul atas Eropa berwujud pada empat wakilnya yang masih tetap di jalur kompetisi. Brasil adalah rajanya Piala Dunia, kolektor terbanyak trophy piala dunia, pemilik abadi trophy Jules Rimet. Argentina dan Uruguay sendiri identik dalam beberapa hal yaitu sama-sama mengoleksi dua gelar juara dunia dan 14 gelar juara Amerika Latin. Paraguay punya modal dua kali juara Amerika Latin dan sejak 1998 rutin berpartisipasi di Piala Dunia.

Keempat negara itu sendiri secara geografis berbatasan langsung. Di petak bumi itu pula lahir dan tumbuh pemain-pemain sepakbola berkualitas tinggi. Untuk kemudian menyebar ke penjuru-penjuru jagat untuk menjual kemampuan dan ketrampilan olah bolanya. Mereka kemudian menjadi pilar penting, pemain kunci dan jimat bagi klub-klub yang menggunakan jasanya. Tebersit pertanyaan, apakah Tuhan memakmurkan wilayah itu dengan bakat-bakat hebat bidang sepakbola seperti Dia memakmurkan jazirah Arab dengan minyak bumi, dan Indonesia dengan pelbagai kekayaan alamnya.

Klub-klub Eropa mestilah menangguk untung lahir batin memiliki pemain sekelas Alfredo di Stefano, Zico, Osvaldo Ardiless, Maradona, Enzo Francescoli, Romario, Gabriel Batistuta, Ronaldo, Fernando Redondo, Cafu, Roberto Ayala, Ronaldinho, Lucio, Diego Forlan, Lionel Messi dan juga ribuan pemain lainnya. Banjir produk bagus dari Amerika Selatan itu pun bisa dinikmati masyarakat sepakbola nasional dalam wujud pemain macam Jacksen Tiago, Carlos de Mello, Danilo Fernando, Emanuel de Porras, Julio Lopez, Luciano Leandro, Robertino Pugliara, Evaldo Silva, Ronald Fagundez, Beto, dan tentunya Christian Gonzales.

Dan di era naturalisasi dan pemakaian jasa pelatih asing, Argentina dan Brasil adalah para penyumbang terbesar. Mauro Camoranesi menapaktilasi jejak Raimundo Orsi, Enrique Guaita dan Luisito Monti di masa lalu, oriundi yang menjadi warga negara Italia dan menjadi juara dunia. Marcos Senna juga “meneladani” Alfredo di Stefano dengan menjadi rakyat Spanyol dan beruntung dengan gelar juara Eropa 2008. Ada ribuan pemain yang tidak tertampung dalam tim nasional yang hanya memberi slot pada 23 pemain.

Di Piala Dunia 2010 ini terdapat beberapa pemain Argentina dan Brasil yang membela negara lain. Sedikitnya terdapat tiga pemain kelahiran Argentina yakni Guillermo Franco bermain untuk Mexico, Lucas Barrios menjadi striker Paraguay, juga Mauro Camoranesi kembali datang bersama skuad Italia. Dan empat pemain kelahiran Brasil yaitu Claudemir Jeronimo Barreto Cacau yang menerima kewarganegaraan Jerman Februari 2009, kemudian Liedson, Pepe, Deco yang memilih membela Portugal. Bahkan pelatih pun mereka ekspor seperti Carlos Alberto Parreira yang mengantarkan Brasil juara dunia 1994 dipakai jasanya oleh tuan rumah Afrika Selatan, Gerardo Martino kelahiran Argentina 20 November 1962 menukangi Paraguay, sedang pelatih Argentina di Piala Dunia 2002, Marcelo Bielsa, kembali datang dengan status pelatih tim nasional Chile.

Dengan segala warna dan pengaruh yang dipancarkan untuk dunia sepakbola. Brazil dan Argentina akan kembali menggerakkan takdirnya masing-masing di fase perempat final. Lawan-lawan tangguh dari benua biru sudah menunggu. Alumni perempat final 2006 macam Javier Mascherano, Maxi Rodriguez, Carlos Tevez, Gabriel Heinze, Arne Friedrich, Bastian Schweinsteiger, Miroslav Klose, Philipp Lahm, Lukas Podolski, dan Per Mertesacker akan bersua kembali diatas rumput hijau Green Point Stadium, kali ini akan ditambah dengan Lionel Messi dan Nicolas Burdisso yang waktu itu tetap tinggal di bangku cadangan. Di Afrika Selatan ini, Tim Tango begitu mulus melewati pertandingan demi pertandingan. Di sisi lain juga Der Panzer justru sudah teruji dengan rintangan-rintangan tangguh. Di masa lalu, kedua tim hebat ini sudah lima kali bertemu di ajang Piala Dunia. Argentina sekali menang di Final 1986, sedangkan Jerman dua kali menang, salah satunya di final 1990. Maradona terlibat di dua pertandingan tersebut sebagai kapten Argentina.

Hampir mirip dengan Maradona, Dunga pun menjadi kapten Tim Samba sewaktu dua kali bentrok dengan Tim Oranje Belanda di perempat final Piala Dunia 1994 dan semifinal Piala Dunia 1998. Yang membedakan dengan Maradona, dia tak terkalahkan dalam dua kali duel tersebut. Dan di Port Elisabeth Stadium, Dunga berharap keberuntungannya berlanjut dengan bantuan pemain-pemain telah berulangkali mereguk nikmatnya juara seperti Lucio, Kaka, Maicon, Julio Cesar, Dani Alves, cum suis.

Argentina dan Brasil, dua negara yang derajat perekonomiannya tak begitu berjarak dengan Indonesia. Negara yang trend suporternya jauh lebih keras dibandingkan kelompok-kelompok suporter lokal di sini. Akan semakin jauh untuk dibandingkan dengan prestasi sepakbola kita. Di saat mereka lapar dengan gelar, kita sibuk menjerumuskan diri dengan perilaku minor. Sungguh sebuah tragedi, usaha tanpa cita-cita.

1 comments:

Unknown mengatakan...

Great writing!